Contoh Petikan Wawancara (Bersama Emil Salim)

Berjuang untuk 'Planet Biru'
       Namanya boleh dibilang tidak pernah jauh dari isu lingkungan hidup. Kendati tidak lagi menjabat sebagai menteri, Prof. Dr. Emil Salim yang sempat menjadi menteri sepanjang 1971 hingga 1993 ini masih kerap diundang dalam pertemuanpertemuan yang membahas masalah lingkungan
di berbagai negara.
       Sebuah persembahan untuk dedikasinya itu diperoleh sekitar akhir Juni lalu. Ketika itu doktor
lulusan University of California, Berkeley, AS, 1964, ini kembali diundang menghadiri pertemuan menteri-menteri lingkungan di Jepang. Tak disangka, di negeri matahari terbit itu pria kelahiran Lahat, Sumatra Selatan, 8 Juni 1930, ini baru diberi tahu, namanya satu dari dua penerima
penghargaan Blue Planet Prize ke-15 dari Yayasan Asahi Glass.
 

Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana ceritanya hingga ada penghargaan itu?
       Saya ikut pertemuan menteri-menteri lingkungan yang diprakarsai oleh menteri lingkungan Jepang tanggal 24-25 Juni 2006. Jadi, tidak ada hubungan. Tapi rupanya, ada pengumuman ini (menunjuk surat pemberitahuan). Tapi, itu terpisah. Saya di sana lantas dikasih tahu ini (penghargaan). 
Bagaimana sebenarnya konsep pembangunan berkelanjutan itu?
       Waktu 1978, persoalan yang Pak Harto tugaskan, jangan mempertentangkan pembangunan dan lingkungan. Bagaimana kedua itu bisa menyatu. Nah, itu yang kemudian menjadi dasar pemikiran, penyatuan lingkungan di dalam pembangunan.
Sejak dulu apakah masalah lingkungan banyak pada penegakan hukum?
       Persoalannya bukan hukum. Persoalannya adalah, orang bilang, kami ini lapar, kami ini perlu menebang kayu agar ada tanah untuk ditanam. Jadi, underdevelopment, ketertinggalan pembangunan, menjadi alasan untuk mengubah alam. Saya berkata, betul. Kita perlu berantas kemiskinan, kita perlu produksi pangan macam-macam, tapi yang saya ingin adalah bukan dengan eksploitasi sumber daya alam, tapi dengan perkayaan sumber daya alam. Itu membawa lingkungan ke tengah-tengah arus pembangunan. Kalau kita ekspor kayu, kayu itu harganya berapa? Tapi, kalau kulit kayu kita ubah jadi obat, nilainya lebih tinggi. Kalau kita ekspor ikan, itu dagingnya. Tapi, di dalam ikan itu ada minyak ikan yang punya omega 9, omega 3. Lebih kaya. Itu menghendaki otak untuk mengubahnya. Kita punya, orang-orang kita tidak bodoh.

Kenapa sulit terlaksana?
       Karena bagian terbesar mau cepat. Tebang kayu, ekspor, kan cepat. Umumnya orang berpikir jangka pendek. Dengan berbagai bencana alam yang terjadi, apakah ini juga bagian
dari pemikiran jangka pendek itu? Bencana alam bukan hanya di Indonesia. Amerika, Eropa, Asia juga ada bencana alam. Semua menderita karena bencana alam. 
Apa yang terjadi kalau ada bencana alam? Mengapa ada penyakit avian flu, ada SARS. Apa itu semua?
    Para ahli berkata, memang bumi ini mengalami perubahan penting dalam makna meningkatnya suhu bumi. Jadi, ada global warning, pemanasan bumi. Akibat dari pemanasan bumi tersebut, temperatur naik, permukaan laut naik, iklim berubah. Mestinya sekarang ini iklim kering. Toh ada hujan. Topan yang terjadi di Amerika, kenapa bisa begitu dahsyat, banjir begitu tinggi. Karena ada peningkatan laut, suhu, dan iklim. Iklim ini berangsur-angsur menjadi semakin panas. Kalau iklim semakin panas, bakteri-bakteri tumbuh. Itu menjadi penyebab dari lahirnya jenis penyakit baru. Avian flu, SARS, itu binatang dulu yang terkena. Tapi waktu terkena binatang, berimbas pada manusia. Jadi, ramalan orang adalah akan ada bencana lebih banyak karena permukaan laut naik. 
Khusus di Indonesia, apakah bencana alam yang terjadi di banyak daerah karena gejala alam atau ada andil manusia?
       Secara makro, ada alam. Tapi begini, kalau saya pergi ke daerah, hutan jati di Jawa Timur habis. Pergi dari Sumatra Selatan ke Jambi, habis. Kalau saya tanya, kapan ini? Semua orang-orang berkata pada saya, sejak ada reformasi. Apa yang terjadi? Pada waktu 1999, sentral otoritas ke daerah. Nah, di daerah itu, pikiran adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ingat, bagaimana dapat PAD yang cepat? Tebang pohon, cepat sekali dapat hasil. Setelah 1999, diikuti dengan desentralisasi, di mana ada pelimpahan hak untuk izin penebangan pada hutan-hutan beratus hektar. Dulu, harus ada izin macam macam. Tapi, desentralisasi diikuti dengan pemilihan pejabat yang berpikiran jangka pendek, seiring dengan lemahnya pegangan dari pemerintah pusat.
Ketika melihat situasi yang makin memprihatinkan itu, apa yang perlu dilakukan segera?
       Kita mesti ke daerah sekarang, kita galakkan, 'Kau yang bertanggung jawab. Kalau banjir, bukan Jakarta yang banjir. Yang banjir kan kamu, yang longsor kan kamu?' Sekarang kelihatan toh, daerah bereaksi. Di Sinjai, sekarang ada wajib tanam. Jadi, kalau tadi bam bam bam (menebang), sekarang kesadaran wajib tanam. Tapi, saya kira kita mesti mendorong pemda-pemda untuk menyelamatkan lingkungan.Menurut Anda, apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan lingkungan, setidaknya untuk Jakarta?
       Belajar dari bencana-bencana ini, bahwa ini ada daya dukung lingkungan. Maksudnya, kemampuan alam mendukung pembangunan. Itu yang harus kita jaga. Kalau sedikit saja hujan terus Jakarta banjir, berarti daya dukung alam Jakarta sudah berat. Maka, kita harus membangun dengan memperhitungkan daya dukung alam.
       Di mana alam sudah tidak bisa menopangnya, kita kurangi. Contoh, Jakarta jadi Botabek. Jakarta sangat padat. Jawaban saya adalah keluarkan `gula-gula' Jakarta, lempar keluar. Bayangkan kalau bandara internasional tetap di Kemayoran dan Halim, bubar. Coba bayangkan, kalau Cengkareng itu tidak dibangun, semua pelabuhan udara di Kemayoran atau di Halim, macet total Jakarta. Bayangkan kalau UI tetap di Salemba, bubar Salemba itu. Artinya, kalau kita lempar ke Cengkareng, lempar ke Depok, kita kurangi beban ini. Batasi Jakarta pada fungsi ibu kota negara. Jangan pikirkan pindahkan ibu kota dari Jakarta, karena kita ada Istana di sini, ada BI, ada yang besar-besar itu.

Kalau begitu, kondisi sekarang lebih rumit dari masa lalu?
       Lebih rumit. Lebih lagi, dulu ini presiden, ini DPR (sambil mengangkat kedua tangan yang tidak sama tinggi). Sekarang begini (kedua tangan sama tinggi). Hitam kata presiden, belum tentu DPR terima. Berdebat terus. Situasi ini menghabiskan waktu. Belum lagi di dalam DPR muncul politicking. Karena orang bicara, bukan bicara kepentingan rakyat lagi. Mereka bicara `'Nanti 2009 aku mesti menang, misalnya itu.'' Dulu, itu tidak ada. Aku mau lingkungan,
aku mau tebang pilih, bagaimana itu jalan. Sekarang, `Kira-kira apa ya yang bisa laku pada tahun 2009?'
Anda sendiri, apa yang Anda mimpikan sekarang?
       Saya ingin membentuk Fakultas Ilmu Lingkungan. Tapi, itu mengharuskan ada 20 doktornya. Sekarang baru ada delapan, kita perlu 20 orang doktor di bidang itu.
Andai diminta kembali jadi menteri, Anda bersedia?
       Kita sudah senja, sudah `maghrib'. Menteri sebaiknya yang masih `subuh', lebih baik dan lebih fresh. Hari masih panjang, buat apa pakai yang `maghrib'?

Sumber: Republika, Minggu, 16 Juli 2006

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Contoh Petikan Wawancara (Bersama Emil Salim)"

Posting Komentar