Peribahasa biasa digunakan untuk menyindir atau memperindah bahasa. Kata-kata dalam peribahasa merupakan susunan yang pasti dan tidak dapat diubah. Bentuk peribahasa antara lain sebagai berikut.
1. Pepatah
1. Pepatah
Pepatah adalah jenis peribahasa yang berisi nasihat atau ajaran dari orang tua.
Contoh:
a. Air tenang menghanyutkan berarti orang pendiam, tetapi banyak ilmu.
b. Setinggi-tinggi bangau terbang, hinggapnya ke kubangan juga berarti walaupun ke mana juga seseorang pergi, kelak tentu kembali ke negeri sendiri.
Contoh:
a. Air tenang menghanyutkan berarti orang pendiam, tetapi banyak ilmu.
b. Setinggi-tinggi bangau terbang, hinggapnya ke kubangan juga berarti walaupun ke mana juga seseorang pergi, kelak tentu kembali ke negeri sendiri.
2. Perumpamaan
Perumpamaan adalah jenis peribahasa yang berisi perbandingan yang menggunakan kata seperti, sebagai, bagai, bak, atau laksana.
Contoh:
a. Seperti pungguk merindukan bulan berarti mengharap-harapkan sesuatu yang tidak mungkin tercapai.
b. Bagai makan buah si malakama, dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati berarti serba sulit dalam menentukan sikap atau tindakan.
a. Seperti pungguk merindukan bulan berarti mengharap-harapkan sesuatu yang tidak mungkin tercapai.
b. Bagai makan buah si malakama, dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati berarti serba sulit dalam menentukan sikap atau tindakan.
3. Pemeo
Pemeo adalah jenis peribahasa yang dijadikan semboyan.
Contoh:
a. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul berarti seia sekata, senasib sepenanggungan.
b. Patah sayap, bertongkat paruh berarti tidak berputus asa. (B.Indonesia R.Novi)
Contoh:
a. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul berarti seia sekata, senasib sepenanggungan.
b. Patah sayap, bertongkat paruh berarti tidak berputus asa. (B.Indonesia R.Novi)
Sebagai contoh, kata peribahasa tersebut terdapat dalam cerita berikut:
Kalong Terbang Malam
Pada zaman dahulu, kalong mencari makan pada siang hari. Sama dengan hewan-hewan lainnya. Ia suka makan buah-buahan, terutama buah-buahan yang ranum. Sayap yang tebal dan kuat memudahkannya terbang dari sebuah pohon ke pohon yang lain. Gigi yang tajam memudahkannya mengunyah biji-bijian yang keras.
Karena kelebihannya itu, kalong menjadi sombong. Ia selalu berkumpul sesamanya, tidak mau bergaul dengan hewan-hewan lainnya, seperti bangsa burung dan bangsa kera.
Suatu ketika, kera yang menjadi ketua bangsa hewan datang ke rumah kalong.
”Maaf, aku mengganggu kebahagiaanmu, kalong,” kata kera. ”Besok seluruh hewan akan bergotong
royong di kebun ini. Membersihkan sampah yang menyumbat aliran air. Kamu lihat sendiri ’kan, air yang tersumbat itu menggenangi kebun sehingga pohonpohon tidak tumbuh subur.”
”Apa katamu?” tanya kalong mendekat sambil mengepakkan sayap. ”Kamu lihat sendiri ’kan. Aku ini makhluk bersayap, tidak sama dengan bangsamu.
Kamu tidak berhak memerintah aku. Perintahlah bangsamu sendiri!”
Tak berapa lama kemudian, seekor burung jalak hinggap di pohon tempat berkumpulnya kalong-kalong itu.
”Maaf, kalong, aku mengganggu kebahagiaanmu,” katanya mendekati kalong yang sedang tertawa.
”Besok semua burung akan bergotong-royong di kebun kita. Membasmi ulat-ulat yang menggerogoti
buah-buahan. Bukankah buah-buahan yang hampir ranum itu busuk karena ulat-ulat itu?”
”Apa katamu? Bergotong-royong? Kamu lupa ya, aku ini bukan bangsa burung. Lihat ini, gigi-gigiku!” ujar kalong sambil memperlihatkan gigi-giginya yang tajam.
”Kamu tidak berhak memerintah aku. Perintahlah bangsamu yang tidak punya gigi!” tambah kalong diiringi tawa teman-temannya. Kalong berlaku seperti raja kaya.
Burung jalak utusan bangsa burung itu pun meninggalkan tempat itu dengan kecewa.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar seluruh hewan yang tinggal di kebun itu serempak bekerja. Kera yang memimpin hewan berkaki empat memindahkan sampah yang menumpuk. Sampah itu dikumpulkan di suatu tempat lalu dibakar. Burung jalak terbang ke sana kemari, mengawasi teman-temannya yang bekerja.
Ada yang membersihkan ulat buah nangka, yang lainnya membersihkan ulat-ulat buah jambu. Rugi menentang laba, jerih menentang boleh itulah peribahasa yang cocok untuk mereka.
Pada musim berikutnya, pohon-pohon di kebun itu tumbuh subur. Tak ada buah-buahan yang busuk. Buahbuahan itu seperti tersenyum memperlihatkan warna kuning kemerah-merahan atau cokelat kehitam-hitaman.
Aromanya sangat merangsang hewan yang kebetulan lewat. Tergerak hati kera dan jalak untuk bergotongroyong memetik buah-buahan yang sedap itu.
”Hai, bangsa hewan dan burung, besok kita bergotong-royong memetik buah-buahan,” seru kera dan jalak berkeliling.
Hari itu adalah hari yang dinanti-nanti. Semua hewan yang hidup di kebun itu bekerja keras, mengerahkan tenaga memetik buah-buahan yang ranum.
Buah-buahan itu dikumpulkan di suatu tempat, lalu dipestakan bersama-sama. Mereka sangat gembira, bermain dan bernyanyi-nyanyi. Setelah itu, mereka pulang membawa sisa-sisa makanan untuk keluarganya.
Bangsa kalong terheran-heran mendapati buahbuahan yang ranum habis terpetik.
”Pasti ulah bangsa kera dan burung,” gerutunya sambil menahan lapar. Kemudian ia segera terbang
menuju rumah kera dan burung.
Karena kelebihannya itu, kalong menjadi sombong. Ia selalu berkumpul sesamanya, tidak mau bergaul dengan hewan-hewan lainnya, seperti bangsa burung dan bangsa kera.
Suatu ketika, kera yang menjadi ketua bangsa hewan datang ke rumah kalong.
”Maaf, aku mengganggu kebahagiaanmu, kalong,” kata kera. ”Besok seluruh hewan akan bergotong
royong di kebun ini. Membersihkan sampah yang menyumbat aliran air. Kamu lihat sendiri ’kan, air yang tersumbat itu menggenangi kebun sehingga pohonpohon tidak tumbuh subur.”
”Apa katamu?” tanya kalong mendekat sambil mengepakkan sayap. ”Kamu lihat sendiri ’kan. Aku ini makhluk bersayap, tidak sama dengan bangsamu.
Kamu tidak berhak memerintah aku. Perintahlah bangsamu sendiri!”
Tak berapa lama kemudian, seekor burung jalak hinggap di pohon tempat berkumpulnya kalong-kalong itu.
”Maaf, kalong, aku mengganggu kebahagiaanmu,” katanya mendekati kalong yang sedang tertawa.
”Besok semua burung akan bergotong-royong di kebun kita. Membasmi ulat-ulat yang menggerogoti
buah-buahan. Bukankah buah-buahan yang hampir ranum itu busuk karena ulat-ulat itu?”
”Apa katamu? Bergotong-royong? Kamu lupa ya, aku ini bukan bangsa burung. Lihat ini, gigi-gigiku!” ujar kalong sambil memperlihatkan gigi-giginya yang tajam.
”Kamu tidak berhak memerintah aku. Perintahlah bangsamu yang tidak punya gigi!” tambah kalong diiringi tawa teman-temannya. Kalong berlaku seperti raja kaya.
Burung jalak utusan bangsa burung itu pun meninggalkan tempat itu dengan kecewa.
Keesokan harinya, pagi-pagi benar seluruh hewan yang tinggal di kebun itu serempak bekerja. Kera yang memimpin hewan berkaki empat memindahkan sampah yang menumpuk. Sampah itu dikumpulkan di suatu tempat lalu dibakar. Burung jalak terbang ke sana kemari, mengawasi teman-temannya yang bekerja.
Ada yang membersihkan ulat buah nangka, yang lainnya membersihkan ulat-ulat buah jambu. Rugi menentang laba, jerih menentang boleh itulah peribahasa yang cocok untuk mereka.
Pada musim berikutnya, pohon-pohon di kebun itu tumbuh subur. Tak ada buah-buahan yang busuk. Buahbuahan itu seperti tersenyum memperlihatkan warna kuning kemerah-merahan atau cokelat kehitam-hitaman.
Aromanya sangat merangsang hewan yang kebetulan lewat. Tergerak hati kera dan jalak untuk bergotongroyong memetik buah-buahan yang sedap itu.
”Hai, bangsa hewan dan burung, besok kita bergotong-royong memetik buah-buahan,” seru kera dan jalak berkeliling.
Hari itu adalah hari yang dinanti-nanti. Semua hewan yang hidup di kebun itu bekerja keras, mengerahkan tenaga memetik buah-buahan yang ranum.
Buah-buahan itu dikumpulkan di suatu tempat, lalu dipestakan bersama-sama. Mereka sangat gembira, bermain dan bernyanyi-nyanyi. Setelah itu, mereka pulang membawa sisa-sisa makanan untuk keluarganya.
Bangsa kalong terheran-heran mendapati buahbuahan yang ranum habis terpetik.
”Pasti ulah bangsa kera dan burung,” gerutunya sambil menahan lapar. Kemudian ia segera terbang
menuju rumah kera dan burung.
”Hai, kera! Mengapa kamu tidak mengajakku ikut memetik buah-buahan? Aku ’kan bangsa hewan!”
gertaknya di depan kera.
”Lho, katanya kamu punya sayap, jadi kamu adalah bangsa burung. Mintalah buah-buahan kepada
bangsa burung!” jawab kera tenang.
”Hai, burung! Mengapa kamu tidak mengajakku memetik buah-buahan? Aku ’kan bangsa burung!” kata kalong sambil membusungkan dada di depan jalak.
gertaknya di depan kera.
”Lho, katanya kamu punya sayap, jadi kamu adalah bangsa burung. Mintalah buah-buahan kepada
bangsa burung!” jawab kera tenang.
”Hai, burung! Mengapa kamu tidak mengajakku memetik buah-buahan? Aku ’kan bangsa burung!” kata kalong sambil membusungkan dada di depan jalak.
”Lho, katanya kamu punya gigi. Jadi, kamu bukan bangsa kami,” ujar jalak sambil tersenyum. Kalong kecewa. Ternyata apa yang ditanam, itulah yang tumbuh.
Dengan rasa malu, kalong dan kawan-kawannya terbang meninggalkan jalak dan kera. Sejak peristiwa itu, kalong tidak mau mencari makan pada siang hari, tetapi sembunyi-sembunyi pada malam hari. Hal ini dikarenakan kalong tidak dapat menaruh muka.Sumber: Cerita Rakyat dari Bali 3, Made Taro, 2003
Dengan rasa malu, kalong dan kawan-kawannya terbang meninggalkan jalak dan kera. Sejak peristiwa itu, kalong tidak mau mencari makan pada siang hari, tetapi sembunyi-sembunyi pada malam hari. Hal ini dikarenakan kalong tidak dapat menaruh muka.Sumber: Cerita Rakyat dari Bali 3, Made Taro, 2003
Jadi negara mana yang pertama kali menggunakan peribahasa atau pepatah?
BalasHapusMaaf sebelumnya sobat, dalam hal ini admin juga belum tau, masih perlu belajar lagi. hhe... :D
Hapuscopy yaaa, makasiih
BalasHapusIya kawan, semoga bermanfaat :)
Hapus