Pengaruh budaya asing juga mempengaruhi busana tari di nusantara. Selain dikenali dari bentuk gerak, masuknya budaya luar ke dalam tari tradisi Anda adalah juga dengan cara melihat lebih menyeluruh, seperti pada busana atau kostum tari dan iringan musiknya. Busana merupakan salah satu properti (pendukung) tari. Coba perhatikan busana Tari Sriwijaya dari Palembang, pemakaian kuku yang runcing indah, terbuat dari alumunium disemprot emas berkilau, mirip dengan tangan yang dipergunakan atau berasal dari pengaruh oleh para penari Burma atau Thailand.
Demikian juga busana Tari Lenso dari Maluku. Penari putri mengenakan rok, sedangkan penari putra mengenakan jas berdasi. Pakaian seperti itu bukan sebagai ciri bangsa kita, melainkan pakaian sehari-hari bangsa asing pada masa lalu.
Apa yang terjadi pada masa kini? Pakaian seperti itu sudah menjadi pakaian sehari-hari bangsa Indonesia sehingga tidak terasa lagi sebagai pakaian yang asing dan berbeda.
Coba kita perhatikan gambar busana Tari Dolalak di atas. Tarian dari Jawa ini sangat unik dan menarik perhatian. Kepala mengenakan topi yang bentuknya tidak asing lagi, hanya ditambah pernik payet hiasan sehingga menjadi topi khusus untuk, pertunjukan tari, kemudian memakai kacamata hitam. Pada tarian ini, malam hari sekalipun tetap mengenakan kacamata hitam. Celana yang dipakai adalah celana selutut, kemudian memakai kaus kaki putih. Sekilas memang busana Tari Dolalak seperti bercampur baur antara tradisi dengan modern. Hal itu terjadi karena dulu berbagai bangsa asing datang ke Nusantara memiliki pemgaruh yang besar. Dari sinilah lahir dan tumbuh berbagai pengaruh dari luar seperti pada desain busana seni tari tradisonal bangsa Indonesia.
Pada beberapa busana tari, jelas terlihat adanya desain yang berasal dari pengaruh dan diadopsi dari budaya asing, seperti pada Tari Perang Kawasara dari Sulawesi Utara. Masuknya agama Kristen meninggalkan sejumlah pengaruh, termasuk kepada busana tarinya. Pakaian para penari pria ini seperti jubah para uskup, dan topi uskup yang naik ke atas, yang dipadu dengan kain khas masyarakat Sulawesi.
Lain lagi dengan masyarakat yang tinggal di Pulau Bali yang sebagian besar menganut agama Hindu. Terlihat pengaruh Islam pada busana Tari Rhodat dari Bali. Para penari pria mengenakan kopiah atau peci dan baju seperti baju koko yang telah dimodifikasi lebih modern.
Di hampir sebagian besar busana tari daerah Sumatra Barat ataupun Nanggroe Aceh Darussalam, desain busana tari tidak terlepas dari syariat Islam. Di sini lebih jelas menunjukkan pengaruhnya, pakaian wanita dominan berlengan panjang atau disebut baju padang, kain songket wanita dipakai hingga mata kaki, dan memakai penutup kepala seperti atap rumah penduduk Minang yang khas, yaitu Rumah Gadang.
Kita dapat memperhatikan busana Tari Piring, Tari Dana, Tari Lilin, Tari Baririang. Demikian pula dengan pakaian penari pria. Selain peci yang menjadi ciri khas, juga digunakan baju koko, dan sarung. Sarung itu digulung hingga ke pangkal paha. Mereka juga mengenakan celana pangsi (celana yang biasa dipergunakan untuk silat), seperti terlihat pada Tari Si Kembang Botan.
Demikian juga busana Tari Lenso dari Maluku. Penari putri mengenakan rok, sedangkan penari putra mengenakan jas berdasi. Pakaian seperti itu bukan sebagai ciri bangsa kita, melainkan pakaian sehari-hari bangsa asing pada masa lalu.
Apa yang terjadi pada masa kini? Pakaian seperti itu sudah menjadi pakaian sehari-hari bangsa Indonesia sehingga tidak terasa lagi sebagai pakaian yang asing dan berbeda.
Coba kita perhatikan gambar busana Tari Dolalak di atas. Tarian dari Jawa ini sangat unik dan menarik perhatian. Kepala mengenakan topi yang bentuknya tidak asing lagi, hanya ditambah pernik payet hiasan sehingga menjadi topi khusus untuk, pertunjukan tari, kemudian memakai kacamata hitam. Pada tarian ini, malam hari sekalipun tetap mengenakan kacamata hitam. Celana yang dipakai adalah celana selutut, kemudian memakai kaus kaki putih. Sekilas memang busana Tari Dolalak seperti bercampur baur antara tradisi dengan modern. Hal itu terjadi karena dulu berbagai bangsa asing datang ke Nusantara memiliki pemgaruh yang besar. Dari sinilah lahir dan tumbuh berbagai pengaruh dari luar seperti pada desain busana seni tari tradisonal bangsa Indonesia.
Pada beberapa busana tari, jelas terlihat adanya desain yang berasal dari pengaruh dan diadopsi dari budaya asing, seperti pada Tari Perang Kawasara dari Sulawesi Utara. Masuknya agama Kristen meninggalkan sejumlah pengaruh, termasuk kepada busana tarinya. Pakaian para penari pria ini seperti jubah para uskup, dan topi uskup yang naik ke atas, yang dipadu dengan kain khas masyarakat Sulawesi.
Lain lagi dengan masyarakat yang tinggal di Pulau Bali yang sebagian besar menganut agama Hindu. Terlihat pengaruh Islam pada busana Tari Rhodat dari Bali. Para penari pria mengenakan kopiah atau peci dan baju seperti baju koko yang telah dimodifikasi lebih modern.
Di hampir sebagian besar busana tari daerah Sumatra Barat ataupun Nanggroe Aceh Darussalam, desain busana tari tidak terlepas dari syariat Islam. Di sini lebih jelas menunjukkan pengaruhnya, pakaian wanita dominan berlengan panjang atau disebut baju padang, kain songket wanita dipakai hingga mata kaki, dan memakai penutup kepala seperti atap rumah penduduk Minang yang khas, yaitu Rumah Gadang.
Kita dapat memperhatikan busana Tari Piring, Tari Dana, Tari Lilin, Tari Baririang. Demikian pula dengan pakaian penari pria. Selain peci yang menjadi ciri khas, juga digunakan baju koko, dan sarung. Sarung itu digulung hingga ke pangkal paha. Mereka juga mengenakan celana pangsi (celana yang biasa dipergunakan untuk silat), seperti terlihat pada Tari Si Kembang Botan.
0 Response to "Pengaruh Budaya Asing Terhadap Busana Tari Daerah Nusantara"
Posting Komentar