a. Perkembangan penulisan naskah drama
Drama yang mula-mula perkembangannya dikenal ditulis dalam bahasa Melayu rendah. Di antaranya berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901) karangan F. Wiggers. Kisahnya diangkat kejadian sensasional di lingkungan penulis.
Pada tahun 1920-an muncul drama bersajak dengan bahasa Melayu Tinggi (baca: Indonesia) dengan judul Bebasari (1926) karangan Rustam Effendi dan Ken Arok dan Ken Dedes (1934), serta Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1928) karangan Muh. Yamin.
Pada masa Pujangga Baru, penulisan naskah drama makin marak. Di antaranya berjudul Manusia Baru (1940) karangan Sanusi Pane, Jinak-Jinak Merpati karya Armijn Pane yang baru dibukukan pada 1953, Pembalasannya (1940) karya Saadah Alim, Gadis Modern (1941) karya Adlin Affandi.
Pada 1940-an drama, sandiwara, dan tonil marak lantaran dimanfaatkan Jepang buat propaganda perang. Adalah grup drama Penggemar Maya pimpinan Usmai Ismail aktif melakukan pementasan di berbagai kota. Beberapa drama yang ditulis pada periode ini antara lain Sedih dan Gembira (Usmar Ismail), Taufan di Atas Asia (El Hakim), Kejahatan Membalas Dendam dan Keluarga Surono (Idrus), dan Tuan Amin (Amal Hamzah).
Sejak 1950-an produktivitas penulisan drama cukup tinggi. Umumnya yang dibuat berupa drama satu babak. Banyak penulis drama yang muncul. Di antaranya adalah Arifin C Noer (Tengul; Kapai kapai), B. Soelarto (Abu; Domba-domba Revolusi), Kirjomulyo (Penggali Intan; Penggali Kapur; Bulan di Atas Langit Merah), Misbach Yusa Biran (Bung Besar), Mohammad Diponegoro (Iblis; Surat kepada Gubernur), Motinggo Busye (Barabah: Nyonya dan Nyonya; Malam Pengantin di Bukit Kera), N. Riantiarno (Rumah Kertas; Maaf, Maaf, Maaf), Nasyah Jamin (Titik-Titik Hitam; Sekelumit Nyanyian Sunda), Putu Wijaya (Aduh; Dag Dig Dug; Anu; Gerr; Dor; Edan), WS Rendra (Mastodon dan Burung Kondor, Sekda), Ikranegara (Topeng; Byur).
b. Perkembangan grup atau teater
Sebelum Indonesia merdeka dikenal grup drama profesional (teater) Komedie Stamboel pimpinan August Maheau, Penggemar Maya pimpinan Usmar Ismail. Sesudah merdeka ada Bengkel Teater pimpinan W.S Rendra, Teater Mandiri Putu Wijaya, Teater Kecil Arifin C. Noer, Srimulat (Teguh), dan lain-lain.
Pentas drama yang dilakukan oleh grup profesional umumnya dititikberatkan pada hiburan. Sangat wajar jika dalam pentas ada nyanyian, tarian, dan bahkan lawakan. Kecuali grup profesional, muncul grup amatir yang bersifat insidental di kalangan sekolah, perguruan tinggi, institusi, organisasi, dan bahkan partai politik. Pentas yang dilakukan umumnya didasarkan pada kaidah teater modern. Kaum terpelajar adalah pendukung utamanya.
c. Perkembangan alur, latar, tokoh, tema, dan penyelesaian
Sampai kini alur drama modern masih didominasi alur konvensional. Di dalamnya disajikan rangkaian peristiwa dalam hubungan sebab akibat. Hanya saja ada beberapa yang menggunakan teknik khas. Dalam Mahkamah, misalnya, alur ditampilkan melalui pengalaman pribadi tokoh utamanya (Saiful Bahri). Dalam Dor ditampilkan perristiwa ke penjabaran ide ketidakpedulian masyarakat terhadap hukum.
Latar drama menyangkut tempat, waktu, dan latar sosial. Kertajaya, Sandyakala ning Majapahit, dan Ken Arok dan Ken Dedes, misalnya mengambil latar waktu jauh sebelum Indonesia dijajah dalam latar sosial masyarakat menengah ke atas. Lain halnya dengan drama sesudah proklamasi. Aduh, Bom, dan Mahkamah yang mengambil latar sosial masyarakat menengah ke bawah.
Tokoh, protagonis maupun antagonis, umumnya menduduki posisi sentral, yang berstatus sebagai pemimpin. Dalam Perguruan, misalnya, guru adalah sosok pemimpin pesantren dan dalam Mahkamah, Syaiful Bachri adalah komandan militer. Hubungan antartokoh umumnya memperlihatkan (1) hubungan manusia dengan manusia (Citra), (2) manusia dengan masyarakat (Aduh); (3) manusia dengan alam (Dalam Bayangan Tuhan): dan (4) manusia dengan dirinya sendiri (Mahkamah). Tema yang diusung pun berkembang dari waktu ke waktu. Ada yang bertemakan sejarah (Kertajaya), kebangsaan (Bebasari), politik (Taufan di Atas Asia), sosial (Maling), moral (Titik-titik Hitam), agama (Masyitoh), dan lain-lain.
Penyelesaian cerita dapat dipilah menjadi beberapa kemungkinan. Di antaranya adalah (1) masalahnya selesai (Arloji dan Mahkamah); (2) masalahnya bertambah tajam (Perguruan); dan (3) masalahnya menimbulkan perubahan nasib (Dor).
Drama yang mula-mula perkembangannya dikenal ditulis dalam bahasa Melayu rendah. Di antaranya berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno (1901) karangan F. Wiggers. Kisahnya diangkat kejadian sensasional di lingkungan penulis.
Pada tahun 1920-an muncul drama bersajak dengan bahasa Melayu Tinggi (baca: Indonesia) dengan judul Bebasari (1926) karangan Rustam Effendi dan Ken Arok dan Ken Dedes (1934), serta Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1928) karangan Muh. Yamin.
Pada masa Pujangga Baru, penulisan naskah drama makin marak. Di antaranya berjudul Manusia Baru (1940) karangan Sanusi Pane, Jinak-Jinak Merpati karya Armijn Pane yang baru dibukukan pada 1953, Pembalasannya (1940) karya Saadah Alim, Gadis Modern (1941) karya Adlin Affandi.
Pada 1940-an drama, sandiwara, dan tonil marak lantaran dimanfaatkan Jepang buat propaganda perang. Adalah grup drama Penggemar Maya pimpinan Usmai Ismail aktif melakukan pementasan di berbagai kota. Beberapa drama yang ditulis pada periode ini antara lain Sedih dan Gembira (Usmar Ismail), Taufan di Atas Asia (El Hakim), Kejahatan Membalas Dendam dan Keluarga Surono (Idrus), dan Tuan Amin (Amal Hamzah).
Sejak 1950-an produktivitas penulisan drama cukup tinggi. Umumnya yang dibuat berupa drama satu babak. Banyak penulis drama yang muncul. Di antaranya adalah Arifin C Noer (Tengul; Kapai kapai), B. Soelarto (Abu; Domba-domba Revolusi), Kirjomulyo (Penggali Intan; Penggali Kapur; Bulan di Atas Langit Merah), Misbach Yusa Biran (Bung Besar), Mohammad Diponegoro (Iblis; Surat kepada Gubernur), Motinggo Busye (Barabah: Nyonya dan Nyonya; Malam Pengantin di Bukit Kera), N. Riantiarno (Rumah Kertas; Maaf, Maaf, Maaf), Nasyah Jamin (Titik-Titik Hitam; Sekelumit Nyanyian Sunda), Putu Wijaya (Aduh; Dag Dig Dug; Anu; Gerr; Dor; Edan), WS Rendra (Mastodon dan Burung Kondor, Sekda), Ikranegara (Topeng; Byur).
b. Perkembangan grup atau teater
Sebelum Indonesia merdeka dikenal grup drama profesional (teater) Komedie Stamboel pimpinan August Maheau, Penggemar Maya pimpinan Usmar Ismail. Sesudah merdeka ada Bengkel Teater pimpinan W.S Rendra, Teater Mandiri Putu Wijaya, Teater Kecil Arifin C. Noer, Srimulat (Teguh), dan lain-lain.
Pentas drama yang dilakukan oleh grup profesional umumnya dititikberatkan pada hiburan. Sangat wajar jika dalam pentas ada nyanyian, tarian, dan bahkan lawakan. Kecuali grup profesional, muncul grup amatir yang bersifat insidental di kalangan sekolah, perguruan tinggi, institusi, organisasi, dan bahkan partai politik. Pentas yang dilakukan umumnya didasarkan pada kaidah teater modern. Kaum terpelajar adalah pendukung utamanya.
c. Perkembangan alur, latar, tokoh, tema, dan penyelesaian
Sampai kini alur drama modern masih didominasi alur konvensional. Di dalamnya disajikan rangkaian peristiwa dalam hubungan sebab akibat. Hanya saja ada beberapa yang menggunakan teknik khas. Dalam Mahkamah, misalnya, alur ditampilkan melalui pengalaman pribadi tokoh utamanya (Saiful Bahri). Dalam Dor ditampilkan perristiwa ke penjabaran ide ketidakpedulian masyarakat terhadap hukum.
Latar drama menyangkut tempat, waktu, dan latar sosial. Kertajaya, Sandyakala ning Majapahit, dan Ken Arok dan Ken Dedes, misalnya mengambil latar waktu jauh sebelum Indonesia dijajah dalam latar sosial masyarakat menengah ke atas. Lain halnya dengan drama sesudah proklamasi. Aduh, Bom, dan Mahkamah yang mengambil latar sosial masyarakat menengah ke bawah.
Tokoh, protagonis maupun antagonis, umumnya menduduki posisi sentral, yang berstatus sebagai pemimpin. Dalam Perguruan, misalnya, guru adalah sosok pemimpin pesantren dan dalam Mahkamah, Syaiful Bachri adalah komandan militer. Hubungan antartokoh umumnya memperlihatkan (1) hubungan manusia dengan manusia (Citra), (2) manusia dengan masyarakat (Aduh); (3) manusia dengan alam (Dalam Bayangan Tuhan): dan (4) manusia dengan dirinya sendiri (Mahkamah). Tema yang diusung pun berkembang dari waktu ke waktu. Ada yang bertemakan sejarah (Kertajaya), kebangsaan (Bebasari), politik (Taufan di Atas Asia), sosial (Maling), moral (Titik-titik Hitam), agama (Masyitoh), dan lain-lain.
Penyelesaian cerita dapat dipilah menjadi beberapa kemungkinan. Di antaranya adalah (1) masalahnya selesai (Arloji dan Mahkamah); (2) masalahnya bertambah tajam (Perguruan); dan (3) masalahnya menimbulkan perubahan nasib (Dor).
0 Response to "Perkembangan Drama, Teater, Alur, Latar, Tokoh, Tema, dan Penyelesaian"
Posting Komentar