Undang-undang yang membahas tentang pernikahan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini mengatur tentang pernikahan di Indonesia. Di antara isi pokok UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut.
1. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Pencatatan Perkawinan
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di atas menjelaskan tentang pencatatan perkawinan. Sebuah perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya serta dicatat menurut perundangundangan yang berlaku.
Setiap pasangan yang melangsungkan pernikahan dicatat dalam buku nikah.
3. Larangan Perkawinan
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/ bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Undang-Undang Tentang Perkawinan Pasal 8 menjelaskan tentang orang-orang yang dilarang menikah. Jika diperhatikan larangan menikah tersebut berlaku bagi orang yang masih memiliki hubungan darah, hubungan semenda, hubungan susuan, dan memiliki hubungan yang oleh agama dilarang menikah.
4. Batalnya Perkawinan
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
2) Suami atau istri;
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Undang-Undang pasal 22 dan Pasal 23 di depan menjelaskan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Selain itu, pasal 23 menjelaskan tentang orang-orang yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan.
5. Penyebab Putusnya Perkawinan
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
1) kematian,
2) perceraian, dan
3) atas putusan pengadilan.
Penyebab putusnya perkawinan menurut pasal 38 dalam Undang-Undang adalah kematian salah satu pihak, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
6. Akibat Putusnya Perkawinan
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya.
2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak tersebut dalam kenyataan tidak memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 38 Undang-Undang perkawinan bahwa perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Putusnya perkawinan membawa akibat sebagaimana dijelaskan dalam pasal 41.
7. Kedudukan Anak
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Undang_undang Pasal 42–44 menjelaskan tentang kedudukan anak. Seorang anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah merupakan anak yang sah menurut pasal 42. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Demikian dijelaskan dalam pasal 43 (1). Dapat dipahami bahwa seorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya. Pasal 44 menjelaskan bahwa seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya. Hal tersebut dapat dilakukan jika suami dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak tersebut merupakan akibat dari perzinaan. Pengadilan dapat memberikan keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan yang berkepentingan.
8. Perkawinan di Luar Indonesia
Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menjelaskan tentang perkawinan yang dilaksanakan di luar Indonesia. Perkawinan yang dilaksanakan di luar Indonesia bisa dilakukan oleh dua orang warga negara Indonesia atau salah satunya warga negara Indonesia dengan warga asing. Perkawinan yang dilaksanakan di luar Indonesia sah jika dilakukan menurut hukum yang berlaku di tempat perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar undangundang ini.
9. Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 57 dalam undang-undang no 1 tahun 1974 menjelaskan tentang perkawinan campuran. Campuran yang dimaksud di sini adalah dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena adanya perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Baca juga: Pengertian dan Hukum Nikah, dan Ulasannya Lengkap, Semoga bermanfaat.. 😊😊😊
0 Response to "Undang-Undang Perkawinan / Pernikahan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)"
Posting Komentar