KH. M. Hasyim Asy’ari (Silsilah, Pendidikan, Karya, Pesantren, Murid, & Wafatnya Hasyim Asyari Lengkap)

KH. M. Hasyim Asy’ari

Hasyim Asy’ari lahir pada hari selasa kliwon, 14 Februari 1871 M/24 Dzulq’dah 1287 H di Gedang, sebuah dusun kecil yang terletak di utara kota Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan putera ke 3 dari 11 bersaudara. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim, dengan tambahan nama Asy’ari dibelakangnya yang dinisbatkan kepada nama ayahnya.

Ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah seorang ulama asal Demak, Jawa Tengah, yang dinikahkan dengan puteri Kiai Utsman, gurunya di pesantren Jombang. Kiai Asy’ari adalah keturunan kedelapan dari penguasa kerajaan Islam Demak, Jaka Tingkir, Sultan Pajang pada tahun 1568, yang merupakan keturunan Brawijaya VI, penguasa kerajaan Majapahit pada seperempat pertama abad XVI di Jawa. Kakek Hasyim Asy’ari, Kiai Utsman (ayah dari ibunda Hasyim Asy’ari), adalah pengasuh pesantren Gedang di Jombang, Jawa Timur, dan juga seorang pemimpin tarekat pada akhir abad XIX.

Silsilah, Pendidikan, Karya, Pesantren, Murid, & Wafatnya Hasyim Asyari Lengkap

Hasyim Asy’ari dilahirkan di lingkungan pesantren Gedang setelah ibunya, Halimah, mengandungnya selama 14 bulan. Dalam pandangan masyarakat Jawa, masa kehamilan yang sangat panjang mengindikasikan kecemerlangan sang jabang bayi di masa depan. Orang tuanya pun yakin akan isyarat ini, karena dikisahkan sang ibu di masa kehamilannya pernah bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit dan menimpa tepat di atas perutnya. Selanjutnya, orang tuanya menyaksikan bakat kepemimpinan yang dimiliki Hasyim Asy’ari pada masa kecil, yaitu setiap kali bermain dengan anak-anak sebaya di lingkungannya, dia selalu menjadi “penengah”. Kapan pun dia melihat temannya melanggar aturan permainan, dia akan selalu menegurnya. Dia selalu membuat teman-temannya merasa senang bermain dengannya, dikarenakan sifatnya yang suka menolong dan melindungi.

Sejak kecil Hasyim Asy’ari juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan oleh sang kakek (Kiai Utsman), mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan dirinya tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, dia selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang, hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.

Silsilah KH. M. Hasyim Asy’ari

Adapun silsilahnya dari jalur ayah secara lebih rinci adalah: KH. M. Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrahman (Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fattah bin Maulana Ishak (ayah dari Raden Ainul Yaqin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Giri, anggota dari Walisongo, penyebar Islam di tanah Jawa).

Sedangkan silsilahnya dari garis ibu, KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng. Salah seorang keturunan Lembu Peteng yang sering disebut sebagai Jaka Tingkir atau Mas Karebet, merupakan salah satu moyangnya. (Tingkir adalah nama sebuah daerah di Salatiga). Jaka Tingkir, yang kemudian menjadi Raja Pajang dan bergelar Adiwijaya, menurunkan putera bernama Pangeran Benowo. Pangeran Benowo mempunyai seorang anak bernama Muhammad alias Pangeran Sambo. Dari Pangeran Sambo inilah kemudian menurunkan Kiai Sikhah di Gedang, Jombang, (pendiri pesantren Tambakberas). Kiai Sikhah adalah cicit Pangeran Sambo. Puteri Kiai Sikhah, Layyinah, dinikahkan dengan seorang muridnya, Kiai Utsman, asal Jepara. Pasangan Kiai Utsman dan Layyinah ini mempunyai puteri bernama Halimah alias Winih. Halimah kemudian dinikahkan dengan Kiai Asy’ari, salah seorang murid Kiai Utsman yang berasal dari Demak.


Pendidikan KH. M. Hasyim Asy’ari

Sebagaimana santri lain pada masanya, Hasyim Asy’ari telah mengenyam pendidikan pesantren sejak kecil. Sebelum dia berumur 6 tahun, Kiai Utsman-lah yang mendidiknya.
Pada tahun 1876, saat berusia 6 tahun, Hasyim Asy’ari harus meninggalkan kakeknya tercinta untuk mengikuti kedua orang tuanya pindah ke Keras, sebuah desa kecil yang terletak di Selatan kota Jombang. Di desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang kemudian digunakannya untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren.

Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama secara lebih intensif oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santrinya. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan para santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.

Hingga usia 15 tahun, selain mempelajari dasar-dasar keislaman, dibawah didikan orang tuanya ia juga digembleng menghafal dan memahami al-Qur’an. Hasyim Asy’ari merupakan seorang santri yang cerdas, ia selalu menguasai apa pun yang diajarkan oleh sang ayah, serta selalu melakukan mothola’ah dengan membaca sendiri kitab-kitab yang bahkan belum pernah diajarkan oleh ayahnya. Karena alasan terakhir inilah, meski masih berusia 12 tahun ia mampu mengajar bahasa Arab dan pelajaran-pelajaran agama lainnya pada tingkat dasar terhadap para santri lain, yakni pada tahun 1883.

Hasyim Asy’ari kemudian menjadi santri yang gemar mengembara mencari ilmu pengetahuan sejak ia berusia 15 tahun. Dia mengunjungi tidak kurang dari 5 pesantren di Jawa. Situasi seperti ini semakin membawanya pada kehausan intelektual hingga ia kemudian menyeberangi lautan menuju pulau Madura. Di pulau inilah, Hasyim Asy’ari bertemu dengan salah seorang guru pentingnya, Kiai Khalil Bangkalan (1819-1925).

Upaya Hasyim Asy’ari selalu berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lain didasarkan atas semangat dan hasratnya untuk memperoleh disiplin ilmu yang berbeda dari pesantren-pesantren yang pernah dikunjunginya, karena umumnya setiap pesantren pada masa itu memiliki spesialisasi yang berbeda-beda. Pesantren Termas di Pacitan Jawa Timur misalnya, dikenal sebagai pesantren yang memiliki spesialisasi ilmu alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika). Sementara pesantren Jampes di Kediri, dikenal luas sebagai pesantren tasawuf.

Pada tahun 1891, setelah selesai menimba ilmu dari Kiai Khalil Bangkalan, Hasyim Asy’ari tiba di pesantren Siwalan, Sidoarjo. Pesantren yang tidak begitu jauh dengan Surabaya ini diasuh oleh Kiai Ya’qub Siwalan, seorang ulama yang dikenal memiliki pandangan luas dan ahli dalam ilmu agama. Sang Kiai sangat terkesan dengan kecerdasan Hasyim Asy’ari, hingga ia menawarkan anaknya, Nafisah, kepada Hasyim Asy’ari yang saat itu masih berusia 21 tahun untuk kemudian dinikahinya pada tahun 1892.

Model pernikahan semacam ini sangat biasa terjadi dalam tradisi pesantren, terhadap seorang santri yang sangat bisa diharapkan mampu mengangkat kualitas pesantren di masa depan. Di samping itu, pernikahan ini mengandung arti bahwa ikatan dari kedua pesantren akan menjadi lebih kuat, karena hubungan yang dibangun tidak hanya atas dasar elemen keagamaan saja, tetapi melalui ikatan keluarga atau pernikahan. Lebih dari itu, keluarga dipandang sebagai sumber kemajuan, kesejahteraan, dan kekuatan kultur santri. Pernikahan keluarga kiai serta fokus keislaman dari ikatan ini telah membentuk bagian tersendiri dari budaya pesantren. Karena sebagian besar para kiai di Jawa saling memiliki hubungan ini, maka ikatan pernikahan bisa juga berarti upaya menjaga kalangan elit religius Jawa (kiai).

Namun, sifat utama dan misi dari para kiai yang harus diperhatikan secara mendalam adalah tugasnya menyeru masyarakat untuk mengikuti prinsip-prinsip Islam dan menunaikan ibadah dengan penuh ketaatan. Tugas keagamaan ini akan menjelaskan motivasi dari inter­marriage (antar-perkawinan) ini secara lebih baik. Dan hal ini tentunya akan menunjukkan perspektif yang lebih baik dan akurat karena kehidupan pesantren berarti kehidupan religius 24 jam sehari.

Pada tahun 1892, Hasyim Asy’ari bersama isteri, Nafisah, dan ayah mertuanya pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu di sana. Namun, setelah menetap selama 7 bulan di Makkah ia memperoleh pengalaman yang cukup pahit, karena Nafisah, sang isteri yang menyertainya dan anaknya, Abdullah, yang lahir di Makkah dan berusia masih sangat kecil, meninggal dunia. Meski diterpa kesedihan yang mendalam, dahaga Hasyim Asy’ari untuk menimba ilmu pengetahuan di tanah suci tidak surut, ia berusaha menerima situasi tersebut dengan ikhlas sebagai suatu ujian dari Allah. Dia yakin bahwa jika ia dapat ikhlas dan tabah menghadapi ujian tersebut maka Allah akan memberinya kehidupan yang lebih baik, baik di dunia maupun di akhirat kelak sebagaimana telah ditunjukkan di dalam al-Qur’an. Dalam suasana duka tersebut, Hasyim Asy’ari berusaha menghibur diri dengan mengunjungi tempat-tempat suci, khususnya Baitullah. Beberapa bulan kemudian, ia lalu mengantarkan ayah mertuanya kembali ke tanah air, sekaligus untuk mengunjungi keluarganya di Jawa.

Pada tahun 1893, Hasyim Asy’ari kembali lagi ke Makkah, kali ini bersama adik kandungnya, Anis, dan menetap di sana selama kurang lebih 6 tahun. Namun, Allah rupanya masih ingin menguji kesabarannya karena tidak lama setelah tiba di Makkah, Anis pun meninggal dunia. Musibah ini pun tidak lantas membuat Hasyim Asy’ari terus-menerus hanyut dalam kesedihan. Ia justru mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Di tengah-tengah kesibukannya menuntut ilmu, ia menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat yang dianggap mustajab seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah. Setiap Sabtu pagi ia berangkat menuju Gua Hira’ di Jabal Nur, yang terletak kurang lebih 10 km di luar Kota Makkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadishadis Nabi. Setiap kali berangkat menuju Goa Hira’, ia selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Ia juga tak lupa membawa perbekalan makanan untuk bekal selama enam hari di sana. Ketika hari Jum’at tiba, ia bergegas turun menuju Kota Makkah guna menunaikan shalat Jum’at di sana. Selain itu, ia juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka.

Di Makkah, Hasyim Asy’ari mendalami ilmu fiqh, ilmu hadits, tauhid, tafsir, tasawuf, dan ‘ilm alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika), dan lain-lain. Dari semua bidang ilmu tersebut, Hasyim Asy’ari tampaknya lebih tertarik mendalami ilmu hadits, khususnya kumpulan hadits Bukhari dan Muslim. Hal ini cukup beralasan, karena sebagian besar santri telah mempelajari ilmu fiqih dengan baik di pesantren-pesantren Jawa. Oleh karenanya, sementara di Makkah mereka merasa perlu memanfaatkan banyak waktu untuk mendalami ilmu hadits di samping al-Qur’an dan tafsirnya, sehingga dengan begitu mereka bisa menyempurnakan pemahaman mereka tentang fiqih. Latar belakang pendidikan pesantren yang pernah dilalui oleh Hasyim Asy’ari ketika di Jawa di masa-masa sebelumnya yang cukup kuat, menjadikannya sangat mudah untuk berpartisipasi aktif dalam aktifitas intelektual di Hijaz.

Pada tahun ketujuh sejak Hasyim Asy’ari menetap di Makkah, tepatnya pada tahun 1899 (1315 H) datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Di antara rombongan itu terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, Jawa Timur, beserta seorang puterinya, Khadijah. Kiai Romli yang sangat bersimpati kepada Hasyim Asy’ari berencana menjadikannya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan puterinya, Khadijah. Setelah pernikahan yang berlangsung di tanah suci itu, Hasyim Asy’ari bersama isterinya kembali ke tanah air. Pada awalnya, ia tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, ia langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh kakeknya, Kiai Usman, lalu setelah itu ia membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di pesantren Keras.

Sejarah panjang pendidikan yang ditempuh oleh Hasyim Asy’ari semasa hidupnya sebagaimana dipaparkan di atas, secara garis besar dapat dipilah ke dalam 2 fase, yakni:
fase pendidikan di pesantren-pesantren Jawa dan fase pendidikan di tanah suci Makkah.
Fase pendidikan Hasyim Asy’ari di pesantren-pesantren Jawa dimulainya sejak ia berusia 15 tahun, yakni pada tahun 1886, hingga tahun 1891. Dalam kurun waktu sekitar 6 tahun tersebut ia menimba ilmu pengetahuan di beberapa pesantren termasyhur di Jawa saat itu, seperti pesantren Wonorejo di Jombang, pesantren Wonokoyo di Probolinggo, pesantren Langitan di Tuban, pesantren Trenggilis di Semarang (dibawah asuhan Kiai Saleh Darat as-Samarani (1820-1903), yang juga merupakan guru dari Syaikh Mahfudz at-Tarmisi (1868-1919), guru Hasyim Asy’ari ketika belajar di Makkah, dan KH. Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah), pesantren Bangkalan di Madura di bawah asuhan Kiai Khalil, dan pesantren Siwalan di Sidoarjo, asuhan Kiai Ya’qub.

Kemudian pada fase berikutnya, yaitu ketika ia menimba ilmu pengetahuan di Makkah sejak tahun 1893 hingga tahun 1899, ia berguru kepada ulama-ulama besar seperti Syaikh Mahfudz at-Tirmisi (1868-1919), Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1897), Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1915), Syaikh Abdul Hamid ad-Durustani, Syaikh Muhammad Syu’aib al-Maghribi, Syaikh Ahmad Amin al-Athar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said al-Yamani, Syaikh Rahmatullah, dan Syaikh Bafadlal. Selain itu, sejumlah Sayyid juga pernah menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim ad-Daghistani, Sayyid Abdullah az-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-‘Atthas, Sayyid Alwi as-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah.

Murid-Murid KH Hasyim Asyari

Pada saat tinggal di Makkah, dilaporkan bahwa sejak tahun 1896 Hasyim Asy’ari juga dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama asal Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara, di antaranya Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), Kiai Asnawi (Kudus), Kiai Dahlan (Kudus), Kiai Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan Kiai Shaleh (Tayu).

Aktifitas dan Karya-karya KH. M. Hasyim Asy’ari

Sepulang dari Makkah di tahun 1899, Hasyim Asy’ari bukan lagi seorang yang bergantung pada bimbingan kedua orang tua maupun kakeknya, Kiai Utsman. Untuk memelihara latar belakang pesantrennya, perhatian utamanya dalam hal ini ditujukan pada peningkatan kualitas lembaga pesantren. Konsisten dengan apa yang ada dalam pemikirannya, ia memilih untuk mengajar di Gedang, pesantren milik kakeknya, Kiai Utsman, kemudian ke pesantren ayahnya di Keras, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan baru pada tahun yang sama.

Patut dicatat di sini, bahwa di sekitar pesantren Gedang saat itu telah terdapat lebih dari 15 pesantren lain seperti Tambakberas, Sambong, Sukopuro, Paculgoang, Watugaluh, dan sebagainya. Dengan mempertimbangkan keberadaan sejumlah pesantren di lokasi tersebut, Hasyim Asy’ari akhirnya memutuskan untuk membuka sebuah pesantren baru di daerah yang agak jauh, yaitu di Tebuireng pada tahun 1899.

Untuk membangun pesantrennya ini ia mula-mula membeli sebidang tanah dari seorang Dalang di Tebuireng. Di atas sebidang tanah itulah, ia membangun sebuah bangunan kecil yang terbuat dari kayu dan bambu yang dijadikan 2 bilik, bilik depan digunakan untuk tempat tinggalnya bersama keluarga, dan bilik belakang digunakan untuk shalat berjama’ah dan asrama santri. Pada awal berdirinya, pesantren ini hanya memiliki 8 orang santri yang kemudian pada 3 bulan selanjutnya bertambah menjadi 28 orang santri.

Masyarakat termasuk kiai lain yang semasa dengan Hasyim Asy’ari tak jarang menyangksikan keputusannya untuk mendirikan pesantren di Tebuireng, karena Tebuireng adalah sebuah desa yang sangat terpencil. Apalagi diketahui bahwa wilayah tersebut ternyata tidak aman, karena kebanyakan penduduknya berprofesi sebagai perampok, pemabuk, penjudi serta menjadi tempat yang subur bagi prostitusi.

Namun, keputusannya untuk mendirikan pesantren baru ini bukanlah tanpa maksud dan tujuan, yakni dalam rangka menyampaikan dan mengamalkan ilmu pengetahuan yang telah ditimbanya selama ini, serta akan menggunakan pesantren yang nanti dibangunnya sebagai sebuah agent social of change. Berdasarkan semangat dan tujuannya ini, ia sesungguhnya layak dijuluki sebagai seorang “ahli strategi”, dalam arti ia berkeinginan untuk melakukan perubahan dan perbaikan masyarakat. Baginya, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat pendidikan atau lembaga moral religius, namun lebih dari itu, pesantren merupakan sarana penting untuk membuat perubahan perubahan mendasar di dalam masyarakat secara luas.

Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa di dalam setiap argumentasinya menyikapi kritik, dia selalu menggunakan contoh kehidupan Nabi serta upaya-upaya yang dilakukan Walisongo ketika mengislamkan masyarakat Jawa. Hal ini merupakan model argumentasi yang bijak untuk meyakinkan para kiai lain perihal rencananya mendirikan pesantren tersebut. Dia juga yakin bahwa tradisi pesantren merupakan sebuah cerminan budaya Islam dengan continuity and change-nya yang berasal dari warisan intelektual dan kultural kaum Muslim Jawa masa awal, khususnya Walisongo. Model Walisongo ini telah diyakini oleh seluruh kalangan santri Jawa, karena Walisongo adalah model yang baik bagi mereka.

Perlu juga dicatat di sini bahwa di sekitar pesantren yang didirikan oleh Hasyim Asy’ari terdapat sebuah pabrik gula, yaitu Pabrik Gula Cukir, kurang lebih berjarak 200 meter dari Pesantren Tebuireng. Pabrik gula ini didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1853. Pada masa itu, gula merupakan sumber terpenting perdagangan luar negeri bagi kaum kolonial. Pabrik ini sekaligus menjadi simbol modernisasi bagi kaum kolonial. Dalam konteks ini, berdirinya pesantren Tebuireng vis­a­vis pabrik milik orang asing bisa dilihat sebagai simbol perlawanannya terhadap hegemoni Belanda. Jika anggapan ini benar, maka keputusan Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng itu telah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan strategis untuk tetap memelihara orientasi keagamaan di dalam perjuangannya. Dan dalam kenyataannya, master plan ini diikuti pula dengan serangkaian aksi non-kooperatif, otonomi, dan penolakan terhadap kaum kolonial, baik oleh dirinya sendiri maupun para santri (murid) nya.

Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Hasyim Asy’ari kembali harus kehilangan isteri tercintanya, Khodijah. Ia kemudian menikah kembali dengan Nafiqoh, puteri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan, Madiun, Jawa Timur. Dari pernikahannya ini ia dikaruniai 10 orang anak, yaitu:

  1. Hannah
  2. Khoiriyah
  3. Aisyah
  4. Azzah
  5. Abdul Wahid Hasyim
  6. Abdul Hakim (Abdul Kholik Hasyim)
  7. Abdul Karim Hasyim,
  8. Ubaidillah
  9. Mashuroh
  10. Muhammad Yusuf Hasyim.

Pada akhir dekade tahun 1920-an, isterinya, Nafiqoh, wafat dan Hasyim Asy’ari harus menikah kembali dengan Masruroh, puteri Kiai Hasan, pengasuh pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri, Jawa Timur. Dari pernikahannya ini, ia dikarunia 4 orang anak, yaitu:

  1. Abdul Qodir
  2. Fatimah
  3. Khotijah
  4. Muhammad Ya’kub.

Sebagai tokoh sentral dalam komunitas pesantren, Hasyim Asy’ari tidak hanya ahli dalam hal ide atau gagasan, namun juga cakap dalam pelaksanaan. Setiap pekerjaan dia pikirkan secara seksama dan kemudian segera diselesaikannya. Jika dia menjumpai suatu masalah serius, dia selalu mencari pemecahannya melalui musyawarah dan shalat istikharah. Musyawarah-musyawarah yang dilakukannya dengan kolega yang dipercayai di Tebuireng seperti Kiai Alwi, Kiai Ma’sum, Kiai Baidhawi, Kiai Ilyas, dan anaknya Wahid Hasyim, telah membuat pekerjaanya di Tebuireng menjadi lebih ringan. Ide-ide ini telah terbukti mampu meningkatkan continuity and change pesantren ini di masa mendatang.

Hasyim Asy’ari pernah mengalami kesulitan pada masa-masa awal perkembangan pesantren Tebuireng. Mentolerir kritik masyarakat pada saat itu sama sulitnya dengan mempertahankan prinsip-prinsipnya melawan dominasi kaum penjajah. Dalam hal ini, Aboebakar Atjeh yang menulis pada tahun 1950-an tidak menggolongkan Hasyim Asy’ari sebagai reformis yang radikal. Namun justeru lebih menilai sikap lunak Hasyim Asy’ari yang tercermin dalam “subordinasi” nya sebagai watak budaya Jawa yang selalu menghargai dan melakukan perubahan secara gradual (pelan-pelan). Hasyim Asy’ari tidak pernah mengolok-olok mereka yang melakukan kesalahan. Secara pelan tetapi pasti, ia mendekati mereka dengan penuh ketulusan dan apresiasi. Melalui pendekatan yang bijak, masyarakat akan terhindarkan dari kebiasaan-kebiasaan buruk mereka serta mau kembali ke jalan yang benar.

Perubahan perilaku yang dilakukan atas kesadaran tentunya akan lebih baik dan bertahan lama dari pada perubahan yang disebabkan oleh kritik, cercaan, dan paksaan. Hasyim Asy’ari selalu menunjukkan kepada masyarakat model kehidupan Nabi yang harus diteladani oleh setiap Muslim. Dalam hal ini Nabi selalu lebih memilih cara memberikan nasihat (mau’idzah) dan bimbingan (irsyad) dari pada menempuh jalan kekerasan, serta lebih senang menempuh metode dakwah yang simpatik dari pada revolusi yang sewenang-wenang. Semua itu dilakukan Hasyim Asy’ari sebagai seorang pendidik yang memahami betul tradisi dan dan psikologi masyarakatnya.

Sebagian besar waktu Hasyim Asy’ari digunakan untuk mengajar di masjid Tebuireng. Karena ketertarikan utamanya pada kajian ilmu hadits, pesantrennya ini dikenal luas dan diminati oleh mereka yang ingin mempelajari hadits secara mendalam. Namun demikian, ia tidak hanya mengajarkan ilmu hadits sebagaimana yang diminati oleh para santri, tetapi juga fiqh dan tafsir. Ketertarikan para santri terhadap materi yang diajarkan oleh Hasyim Asy’ari tentunya tidak dapat dipisahkan dari kualitas dan cara mengajarnya yang mempesona. Dia membacakan materi-materi berbahasa Arab kepada para santrinya dalam bahasa yang sangat lugas, dengan terjemahan dan penjelasan yang mudah dimengerti. Para santri dapat dengan mudah menguasai materi yang dia sampaikan karena dia menunjukkan penguasaan materi yang luar biasa terhadap ketiga bidang ilmu ini (hadits, fiqh, dan tafsir) yang tidak dimiliki ulama lain semasanya. Dia senantiasa ramah dan penuh kesabaran dalam menjawab setiap pertanyaan para santri.

Sebagaimana kiai lainnya di Jawa, Hasyim Asy’ari juga memanfaatkan momentum bulan Ramadlan untuk mengerjakan spesialisasi ilmu pengetahuan yang dimilikinya dalam bidang hadits. Biasanya, studi terhadap hadits karya Imam Bukhari dan Imam Muslim diselesaikannya dalam waktu sekitar 40 hari, dengan dihadiri oleh sebagian besar muridnya yang penting, yang kelak menjadi kiai dari seluruh Jawa. Kelas bulan Ramadhan ini juga merupakan ajang reuni bagi para pemimpin pesantren. Proses pengajaran dalam situasi ini mungkin lebih merupakan forum komunikasi (silaturrahmi) dan tabarrukan, yakni untuk meraih berkah dari hadits dan dari sang guru.

Pada tahun 1920-an, semakin banyak ulama yang ingin belajar hadits dari Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Salah satu dari mereka adalah gurunya sendiri, Kiai Khalil Bangkalan. Kiai Khalil berkata, “Pada masa lalu aku adalah gurumu. Tetapi, sekarang aku ingin menjadi muridmu”. Hasyim Asy’ari dengan rendah hati menjawab, “Saya tidak pernah berpikir Tuan akan mengatakan demikian. Saya dulu dan sekarang adalah tetap murid Tuan. Tuan selamanya adalah guru saya”. Melihat hati sang murid, Kiai Khalil menegaskan kembali bahwa dia sungguh-sungguh ingin belajar kepada Hasyim Asy’ari tentang hadits. Tentunya, anekdot ini menunjukkan kerendahan hati kedua ulama tersebut. Kiai Khalil dikenal sebagai guru tiada tanding, yang gemar berdebat untuk tujuan keilmuan melebihi siapa pun. Adalah sukar dimengerti jika pada akhirnya sang guru menghormati muridnya sendiri. Kerendahan hati adalah salah satu ciri terpenting dari dunia pesantren. Beberapa laporan lain menunjukkan bahwa kehadiran Kiai Khalil di kelas Hasyim Asy’ari beberapa tahun menjelang wafatnya ini menunjukkan kepada para santri lain bahwa Hasyim Asy’ari adalah pemimpin kiai di masa depan yang harus mereka taati.

Dalam konteks ini, perkembangan besar yang terjadi di Pesantren Tebuireng pada masa kepemimpinan Hasyim Asy’ari penting kiranya untuk disebutkan. Sebagaimana kebanyakan pesantren, watak dasarnya selalu independen. Hubungan antara Pesantren Tebuireng pada masa awal perkembangannya dengan pemerintah kolonial sangat tidak bersahabat. Fakta yang menunjukkan bahwa Pesantren Tebuireng yang didirikan pada tahun 1899 dan tidak mendapat pengakuan Belanda hingga tahun 1906, menyiratkan betapa sulitnya situasi yang tengah berlangsung saat itu. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama Jawa yang dicurigai oleh Belanda karena kepemimpinan dan pengaruhnya yang sangat besar di masyarakat. Situasi politik dan keagamaan yang diciptakan oleh Belanda, benar-benar tidak mendorong perkembangan pesantren pada waktu itu. Hal ini berarti bahwa ruang gerak guru-guru pesantren dibatasi bagi mereka yang memperoleh pendidikan keislaman di dalam negeri saja.

Di awal dekade abad ke-20, di Jawa mulai terlihat adanya perkembangan dan arah baru pesantren. M. Yunus, ahli sejarah yang pernah mengunjungi berbagai pesantren pada tahun 1950-an, menjelaskan bahwa kelahiran Pesantren Tebuireng menandai era baru perkembangan pesantren. Kedatangan Hasyim Asy’ari di Jawa dengan bekal ilmu yang dia peroleh di Hijaz (Saudi Arabia) menandai hadirnya seorang ulama Jawa yang memperoleh ilmu pengetahuan keislaman di kota suci (Makkah) dan melambangkan vitalitas baru serta ide-ide segar dengan mendirikan pesantren-pesantren baru.

Master plan pesantren Tebuireng yang dirancang oleh Hasyim Asy’ari tidaklah siasia. Hasyim Asy’ari adalah seorang yang penyabar dan jujur. Ia menciptakan sebuah tradisi pesantren di dalam dirinya sendiri sebagai seorang santri yang tekun sekaligus kiai yang tegas namun baik hati dalam keluarga dan pesantrennya. Pernyataan terakhir ini bisa dijelaskan dengan mengamati pertumbuhan dan perkembangan terakhir dari lembaga tersebut. Dari 8 hingga 28 orang santri pada awal berdirinya, pesantren ini lalu tumbuh dengan ribuan santri pada dekade berikutnya. Para santri di pesantren ini lalu banyak yang menunjukkan kemajuan mereka yang pesat dan menjadi pemimpin, baik pada level lokal maupun nasional. Dilaporkan bahwa ketika Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947, dia telah berhasil mendidik tidak kurang dari puluhan ribu santri yang berasal dari seluruh Indonesia. Prestasi yang luar biasa ini tidak akan tercapai, jika Hasyim Asy’ari bukan seorang kiai yang kharismatik dengan berbagai keunggulan kualitas yang ada di dalam dirinya, seperti ketegasan, simpati, dan kepandaian dengan disertai kepribadian yang menyenangkan. Di samping itu, Hasyim Asy’ari benar-benar orang yang sangat perhatian terhadap para santrinya. Dengan tanah pertanian cukup luas yang dimilikinya, ia sering memberi makanan kepada para santrinya, khususnya setelah masa panen atau pada masa paceklik yang pernah terjadi pada tahun 1946, yaitu saat mata uang Jepang tidak dipergunakan lagi setelah Jepang tidak lagi berkuasa, sedangkan para santri masih banyak yang menyimpannya saat itu.

Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistempengajaran sorogan dan bandongan. Bentuk pengajaran saat itu tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa). Seiring perjalanan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, diantaranya dengan menambah “kelas musyawarah” sebagai jenjang kelas tertinggi. Santri yang masuk ke dalam kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.

Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Pesantren Tebuireng, Hasyim Asy’ari banyak dibantu oleh saudara iparnya, Kiai Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Makkah. Pada tahun 1916, Kiai Ma’sum Ali, menantu pertama Hasyim Asy’ari dari puterinya yang bernama Khairiyah, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem klasikal (madrasah) ini merupakan sistem pengajaran yang diadopsi dari Makkah.

Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka 7 (tujuh) jenjang kelas yang dibagi menjadi 2 (dua) tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun. Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), Matematika, dan Geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah lagi dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Pada tahun 1928, posisi Kiai Ma’sum sebagai Kepala Madrasah digantikan oleh Kiai Ilyas, sedang Kiai Ma’sum sendiri ditunjuk Hasyim Asy’ari untuk mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).

Diperkenalkannya materi-materi non-agama di Tebuireng, pada awalnya mendapat kritikan tajam dari para ulama (kiai) lain, sehingga banyak orang tua yang melarang anaknya memasuki atau melanjutkan pendidikan di pesantren ini. Namun, pada awal tahun 1940-an saat pendudukan Jepang, mereka baru menyadari manfaat ilmu-ilmu tersebut, yaitu ketika Jepang melarang masyarakat untuk tidak berkomunikasi kecuali hanya dengan menggunakan huruf-huruf alfabet (latin). Sebagai tambahan, kebanyakan alumni Tebuireng menjadi anggota Sanakai (suatu lembaga perwakilan distrik) dengan bekal penguasaan mereka terhadap ilmu pengetahuan non-agama, khususnya bahasa Indonesia sebagai pengganti bahasa Arab yang telah sedemikian akrab dengan mereka.

Melihat kemajuan besar yang diciptakan oleh pesantren Tebuireng, pemerintah Belanda pernah memberikan penghargaan kepada Hasyim Asy’ari sebuah lencana emas dan perunggu pada tahun 1937 dan menawarinya menjadi pegawai negeri. Namun karena konsistensinya memegang prinsip ikhlas serta takut terjebak pada sikap riya’, dia menolak penghargaan tersebut. Dia kemudian menjelaskan kepada para santrinya usai berjama’ah shalat Maghrib sebagai berikut:

“Nabi kita pernah ditawari 3 hal oleh musuh­musuhnya di Makkah melalui pamannya, Abu Thalib. Ketiga hal itu adalah: kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan, kekayaan, dan gadis tercantik di Arab. Namun Nabi menolaknya dan berkata kepada pamannya, ‘Demi Tuhan, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya pada akhirnya aku berhenti berdakwah, aku tidak akan menyerah. Aku akan tetap berjuang hingga cahaya Islam tersebar ke segala penjuru atau aku akan mati karenanya’. Demikianlah murid­muridku, teladan Nabi untuk bertahan dalam berjuang dalam keadaan apapun. Semoga Allah memberikan bimbingan, rahmat dan perlindungan kepada kita sebagai kaum Muslim. Sekarang marilah kita bersiap menunaikan shalat Isya berjama’ah. Camkan dan ingat baik­baik apa yang baru saja engkau terima. Jangan biarkan kemalasan menguasai diri kita”.

Demikian, Hasyim Asy’ari melegitimasi respon politik dan religiusnya terhadap kaum kolonial dan meyakinkan kepada para muridnya dengan merujuk kepada teladan Nabi. Membangun teladan positif merupakan elemen penting dalam setiap pendidikan yang dilakukan oleh Hasyim Asy’ari terhadap murid-muridnya. Ia merupakan orang yang sangat tekun dalam mengkaji dan menela’ah ilmu pengetahuan. Kecintaannya membaca kitab sangat berkesan di hati murid-muridnya. Di antara mereka adalah Ahmad Bakri, kiai asal Kudus, Jawa Tengah, yang pernah menjadi murid langsung dari Hasyim Asy’ari pada tahun 1940-an. Ia menyaksikan bagaimana Hasyim Asy’ari senantiasa membaca kitab dalam berbagai waktu dan kesempatan. Bahkan, sambil menunggu kereta Hasyim Asy’ari memanfaatkan waktu untuk membaca kitab hingga kereta tiba, demikian pula saat perjalanan pulang.

Cara Hasyim Asy’ari memperlakukan santrinya bervariasi tergantung situasi dan kondisi. Ahmad Bakri mengisahkan bahwa gurunya terkadang menghukum santrinya dengan hukuman keras, khususnya ketika mereka melakukan kekeliruan yang serius dan menuntut perubahan yang dramatis.

Dalam komunitas santri lainnya misalnya, Hasyim Asy’ari biasanya duduk memandu para santrinya membaca doa-doa tertentu usai shalat lima waktu berjama’ah. Suatu hari pada tahun 1945, Bakri menyaksikan gurunya melakukan tindakan di luar kebiasaannya. Hasyim Asy’ari bergegas meninggalkan para santrinya tanpa memimpin doa menuju santri lain yang tengah bermain air, dan ia segera memukul mereka dengan pentungan sehingga membuat mereka lari. Bakri akhirnya memahami bahwa santri tersebut melakukan sesuatu yang israf (berlebihan atau pemborosan), suatu tindakan yang sangat bertentangan dengan salah satu prinsip dasar pesantren untuk berperilaku hidup sederhana.

Hasyim Asy’ari merupakan seorang pendidik sejati. Selain sangat mumpuni secara keilmuan, ia juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan menulis kitab. Pada tahun 1919, ketika masyarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, ia tidak tinggal diam. Ia aktif bermu’amalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan mendasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Ia dalam hal ini pernah membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul ‘Inan li Murabathati Ahli al­ Tujjar.

Hasyim Asy’ari merupakan tipe pendidik yang sulit dicari tandingannya. Sejak pagi hingga malam hari, ia menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari, kegiatannya dimulai dengan menjadi imam shalat subuh di masjid Tebuireng, yang berada tepat di depan rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai wirid, ia mengajar kitab kepada para santrinya hingga menjelang matahari terbit. Di antara kitab yang diajarkannya setelah shubuh adalah Al­Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al­ Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.

Setelah selesai memberikan pengajian, Hasyim Asy’ari yang terbiasa berpuasa itu menemui para pekerja yang sudah berkumpul di samping rumahnya. Ia membagi tugas kepada mereka; ada yang ditugaskan merawat sawah, membenahi fasilitas pesantren, dan lain sebagainya. Setelah itu, ia menerima laporan-laporan mengenai hal-hal yang sebelumnya pernah ia tugaskan. Sekitar pukul 07.00, ia mengambil air wudlu’ untuk melaksanakan shalat dhuha. Ia biasanya mengambil air wudhu di jeding (kamar kecil) samping rumah dengan hanya mengenakan kain sarung dan kaos putih.

Setelah shalat dhuha, dilanjutkan dengan mengajar santri senior, tempatnya di ruang depan rumahnya. Kitab yang pernah diajarkan antara lain Al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al­-Muattha’ karya Imam Malik Ra. Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00. Mulai jam 10.00 pagi hingga jam 12 adalah waktu istirahat, yang digunakan untuk agenda-agenda seperti menemui para tamu, membaca dan menulis kitab, dan lain-lain.

Sebelum adzan dzuhur berkumandang, kadang kala ia menyempatkan diri untuk tidur sebentar (qailulah), sebagai bekal untuk qiyamul lail (ibadah di malam hari) dan membaca al-Qur’an. Ketika adzan dzuhur berkumandang, ia bangun dan mengimami shalat dzuhur berjama’ah di masjid. Selepas shalat dzuhur, ia mengajar lagi sampai menjelang waktu ashar.

Kira-kira setengah jam sebelum ashar, ia memeriksa pekerjaan para pekerja yang ditugasinya tadi pagi. Setelah menerima laporan, ia kembali ke rumahnya, kemudian mandi. Setelah terdengar adzan ashar, ia kembali lagi ke masjid dan mengimami shalat ashar, dilanjutkan dengan mengajar para santri di masjid sampai menjelang maghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al­-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti oleh semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinyu dibaca setiap selesai shalat ashar.

Setelah shalat maghrib, ia menyediakan waktu untuk menemui para tamu yang datang dari berbagai daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Surabaya, Madiun, Kediri, Solo, Jakarta, Yogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra, Telukbelitung, Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai Marfu’ah, pembantu Hasyim Asy’ari, setiap harinya Hasyim Asy’ari menyediakan banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari, jumlah tamunya bisa mencapai 50 orang.

Setelah shalat isya, ia mengajar lagi di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al­Din karya Imam al-Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir al­Quran al­Adzim karya Ibnu Kastir. Setelah itu ia muraja’ah Al-Qur’an dengan disimak oleh beberapa santri. Ia mengakhiri kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu malam dan bangun satu jam kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran.

Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum shubuh), ia berkeliling pesantren untuk membangunkan para santrinya agar segera mandi atau berwudlu’ untuk melaksanakan shalat tahajjud dan shalat shubuh. Ketika usianya sudah beranjak sepuh (tua) dan harus memakai tongkat untuk menyangga tubuhnya, pun Hasyim Asy’ari tetap menjalankan kebiasaannya membangunkan para santri menjelang shubuh.

Ia dikenal sangat mencintai para santrinya. Keadaan ekonomi bangsa yang masih sangat lemah saat itu, secara otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi santri.
Ada yang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada pula yang tanpa bekal sedikit pun. Karena itu, Hasyim Asy’ari biasanya memberikan jatah makan harian kepada para santrinya yang tidak mampu. Lalu setiap hari Selasa, ia mengajak mereka berwirausaha atau pergi ke sawah untuk bertani. Kecintaannya pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikannya kepada setiap santri yang selesai belajar di Tebuireng: ”Pulanglah ke kampung halamanmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji.”

Masa-masa awal perjuangan Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan penjajah tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari tindakan represif Belanda. Pada tahun 1913, intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.

Peristiwa ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk menangkap Hasyim Asy’ari dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Hasyim Asy’ari yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba tersebut, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporakporandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar.

Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik tahun 1940-an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke Jepang. Pendudukan Dai Nippon (tentara Jepang) menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represif dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.

Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hasyim Asy’ari beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena ia menolak melakukan Seikerei, yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).

Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Hasyim Asy’ari menolak aturan tersebut. Sebab baginya hanya Allah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, ia ditangkap dan ditahan secara berpindah-pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hasyim Asy’ari berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan.

Selama di dalam tahanan, Hasyim Asy’ari mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Sejak penahanan itu, seluruh kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng praktis vakum total.
Penahanan itu juga mengakibatkan keluarganya menjadi tercerai berai. Pada tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Hasyim Asy’ari akhirnya dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Hasyim Asy’ari juga berkat usaha dari puteranya, Wahid Hasyim, dan Kiai Wahab Hasbullah yang menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.

Pada tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng bersama pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha kembali melakukan agresi ke Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, ia bersama para ulama lain menyerukan “Resolusi Jihad” melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad itu ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta pada pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung mereka dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Hingga sekarang, peristiwa 10 Nopember itu kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Pada tanggal 7 Nopember 1945 tiga hari sebelum meletus perang 10 Nopember 1945 umat Islam Indonesia membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi ini merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam Indonesia dari berbagai faham. Dalam hal ini Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama, periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah tersebut, ia dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepadanya.

Pada tahun 1926, bersama-sama dengan ulama berpengaruh lainnya, seperti Kiai Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas) dan Kiai Bisri Syansuri (Denanyar), Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebagai wujud perjuangan para ulama dalam membimbing umat Islam sekaligus melawan kaum penjajah saat itu. Di awal berdirinya organisasi NU tersebut Hasyim Asy’ari diangkat sebagai “Rois Akbar” (Pemimpin Agung), satu-satunya istilah jabatan dalam organisasi NU yang sejak awal didirikannya hingga sekarang hanya disandang oleh beliau.

Lahirnya organisasi NU memiliki sejarah dan perjuangan yang cukup panjang. Lamanya penjajahan yang mengungkung bangsa Indonesia, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa mereka, baik melalui jalur pendidikan maupun organisasi. Sejak tahun 1908, di Indonesia mulai bermunculan organisasi dan gerakan yang di dalam sejarah disebut dengan Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar, sehingga muncul berbagai organisasi dan lembaga pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916, dan Taswirul Afkar di tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari sana lalu didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan dukungan Nahdlatul Tujjar ini, maka Taswirul  Afkar dapat tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian Taswirul Afkar ini adalah Kiai Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, yang juga murid Hasyim Asy’ari). Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman kala itu, baik dalam hal keagamaan, pendidikan, sosial, maupun politik.

Dalam konteks dunia Islam secara lebih luas, pada masa itu, Raja Saudi Arabia (Hijaz), Ibnu Sa’ud, berencana menjadikan paham Wahabiyah sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi oleh kaum Muslim, karena dianggap bid’ah.

Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan antusias dari kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan ulama pesantren yang sejak awal menghormati tradisi dan keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan ulama pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al-Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Makkah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh semangat menciptakan kebebasan bermadzhab serta kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Hasyim Asy’ari bersama para kiai pesantren lainnya, membuat delegasi independen yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai oleh Kiai Wahab Hasbullah ini datang langsung ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Sa’ud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat bersamaan, datang pula protes dan tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Sa’ud, sehingga rencana tersebut akhirnya dapat digagalkan. Hasilnya, hingga kini umat Islam di seluruh dunia dapat bebas melaksanakan ibadah di Makkah sesuai dengan madzhabnya masingmasing. Itulah peran pertama yang sangat penting dari kalangan ulama pesantren dalam kancah internasional, di mana mereka berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan menyelamatkan warisan dan peninggalan peradaban Islam yang sangat berharga.

Sebagaimana diketahui, pada saat itu (bahkan hingga kini) di dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat dan menghargai tradisi lokal. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang dianggap bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.

Dengan pemikiran ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran bermadzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Makkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).

Hasyim Asy’ari pun pada prinsipnya menerima gagasan Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi ia menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam, khususnya masyarakat awam, akan sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Al-Hadits jika tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Hasyim Asy’ari ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh Jawa dan Madura. Hasyim Asy’ari yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai, akhirnya berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ (NU).

Terkait sejarah pendirian organisasi NU ini terdapat sebuah kisah menarik, dikisahkan bahwa pada tahun 1924, ketika kelompok diskusi Taswirul  Afkar, sebagaimana diceritakan di atas (yang merupakan embrio kelahiran NU) hendak mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar, ia meminta persetujuan Hasyim Asy’ari.

Hasyim Asy’ari yang saat itu dimintai persetujuan, meminta waktu untuk mengerjakan shalat istikharah terlebih dahulu, memohon petunjuk kepada Allah. Namun, setelah ditunggu cukup lama, petunjuk itu tidak datang juga melalui mimpi. Hasyim Asy’ari akhirnya merasa sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ia tiba-tiba ingin berjumpa dengan gurunya, Kiai Khalil Bangkalan.

Sementara itu, jauh di Bangkalan, Kiai Khalil yang terkenal dengan sebutan waliyyullah dan diyakini mampu mengetahui sesuatu yang belum terjadi, telah mengetahui apa yang tengah dialami oleh muridnya, Hasyim Asy’ari. Kiai Khalil lalu mengutus salah seorang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo, Jawa Timur), untuk memberikan sebuah tongkat kepada Hasyim Asy’ari di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setibanya di Tebuireng ia membacakan QS. Thaha ayat 23 dihadapan Hasyim Asy’ari.

Ketika Hasyim Asy’ari menerima kedatangan As’ad dan mendengarkan ayat al-Qur’an yang dibacakannya, hatinya langsung bergetar, ”Keinginanku untuk membentuk jam’iyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan air mata. Namun demikian, Hasyim Asy’ari merasa belum benar-benar memperoleh kemantapan hati. Tidak berapa lama, pemuda As’ad kembali datang menemuinya. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan kalung tasbih ini,” ujar pemuda As’ad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan oleh Kiai Khalil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih tersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng cukup jauh dan banyak rintangan. Bahkan, ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih yang ada di lehernya. Ia berprinsip, ”kalung tasbih ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga adalah harus kiai”.

Inilah salah satu bentuk ketaatan santri kepada gurunya. “Kiai Khalil juga meminta Anda untuk mengamalkan bacaan wirid Ya Jabbar dan Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua kalinya ini betul-betul membuat hati Hasyim Asy’ari semakin mantap. Ia menangkap isyarat bahwa gurunya sama sekali tidak keberatan jika ia bersama para kiai lain mendirikan organisasi/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya selama ini melalui shalat istikharah. Sayangnya, Kiai Khalil Bangkalan tidak sempat menyaksikan pendirian organisasi ini, karena ia meninggal dunia 2 tahun sebelum organisasi yang direstuinya itu didirikan oleh Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya.

Akhirnya, pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’ (NU), yang berarti kebangkitan ulama, dan akhirnya menjadi ormas terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Melalui organisasi NU ini, nama besar Hasyim Asy’ari semakin berkibar. Ketokohan, kharisma, dan kedalaman ilmu yang dimilikinya menempatkannya pada posisi kiai teratas di Indonesia, hingga dikalangan kiai lain ia mendapatkan gelar Hadratus Syekh (Tuan Guru Besar). Hingga saat ini, belum ada pemimpin NU atau ulama pesantren lain di Indonesia yang memperoleh gelar atau status yang sama, yakni Hadratus Syekh. Jika sebutan ini diucapkan, maka hal itu selalu dimaksudkan untuk Hasyim Asy’ari, sang pendiri NU. Bahkan, istilah jabatan Ro’is Akbar di NU, ketika posisi Hasyim Asy’ari digantikan setelah kewafatannya, istilah tersebut diganti dengan Ro’is ‘Am.

Selain mendalam secara keilmuan, Hasyim Asy’ari juga sangat konsisten dalam beramal dan beribadah. Dikisahkan, ketika ia pernah merasa amat letih usai menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di Malang, ia tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari kepada para santri. Sehabis shalat isya ia langsung beristirahat tidur dengan sangat pulas. Ia kemudian bangun pada jam setengah tiga malam, dan langsung mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan melaksanakan shalat tahajjud. Selesai shalat tahajjud diiringi dengan wirid dan doa yang panjang, ia lalu mengambil al-Qur’an dan membacanya perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika sampai pada surat Ad-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:

“Mereka (para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka memohon ampun (kepada Allah)”.
Seketika itu ia langsung menghentikan bacaannya, dan ia menangis terisak-isak. Air matanya membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Ia merasa bahwa malam itu terlalu banyak tidur. Sambil menengadahkan tangan, ia berdo’a, ”Ya Allah, ampunilah hamba yang lemah ini, berilah hamba kekuatan serta ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-Mu.” Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya menuju tempat shalat, lalu bersujud kepada Allah memohon ampun. Lisannya terus membaca tasbih. Peristiwa seperti ini terjadi tidak hanya sekali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang siksa, ancaman, dan murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan perintah-perintah Allah yang terlupakan oleh kaum muslimin, ia selalu meneteskan air mata.

Pada malam yang lain, ketika ia berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badannya, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca al-Qur’an surat al-Muzammil: 1-9 yang artinya:
”Wahai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah al-­Quran dengan perlahan­lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguh­nya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-­Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan Timur dan Barat, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung.”

Mendengar ayat itu, ia yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah kepadanya melalui lisan santrinya. Allah menegurnya agar ia tetap beribadah, serta tidak bermalas-malasan menuruti hawa nafsu. Akhirnya keinginan untuk segera tidur pun dibatalkannya.
Diceritakan pula, pada tahun 1943, Hasyim Asy’ari diserang demam yang sangat hebat. Ketika waktu dzuhur, ia memaksakan dirinya bangkit dari tempat tidur menuju kolam untuk mengambil air wudhu’. Ia berjalan sambil dibantu oleh kedua puteranya. Setelah mengambil air wudhu’, ia memakai baju rapi disertai sorban untuk menuju masjid. Salah seorang puteranya, Abdul Karim Hasyim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah, apakah tidak sebaiknya ayah shalat di rumah saja?”. Ia menjawab, ”Ketahuilah anakku, api neraka lebih panas dari pada demamku ini”. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid dengan dibantu oleh puteranya.

Sepulang dari masjid, demamnya semakin tinggi. Sanak famili dan putera-puterinya lalu berdatangan. Badannya terbujur lemah di atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri. Tapi tak lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata. Adik perempuan yang dari tadi menungguinya bertanya, ”Di manakah yang terasa sakit, wahai kakak-ku?”. Dengan nada sedih, ia menjawab, ”Aku menangis bukan karena penyakitku ini, bukan pula karena takut mati atau berat berpisah dengan famili. Aku merasa selama ini belum mempunyai amal shaleh yang berarti. Masih banyak perintah Allah yang belum aku kerjakan. Alangkah malunya aku saat menghadap Allah dengan tangan hampa, tiada membawa amal kebaikan yang cukup. Itulah yang membuat aku menangis.”

Hasyim Asy’ari merupakan orang yang sangat berpengaruh di dalam komunitas pesantren dan NU dikarenakan oleh kondisi tertentu. Dia berhasil mencapai jenjang tertinggi dalam hal transmisi keilmuan di bawah bimbingan para gurunya yang paling dihormati dikalangan santri Jawa, yakni Syaikh Nawawi al-Bantani (ulama interdisipliner), Syaikh Mahfudz at-Tarmisi (ulama ahli hadits), dan Kiai Khalil Bangkalan (wali terkenal di Jawa).

Tak diragukan lagi, Hasyim Asy’ari telah berhasil menterjemahkan dan memformulasikan pemikiran religius para gurunya itu ke dalam komunitas pesantren, serta menjembatani gap antara dua dunia yang saling berjauhan, Hijaz (Saudi Arabia) dan Jawa. Selain itu, penguasaan disiplin ilmu maupun interaksi akademik antara Hasyim Asy’ari dengan mereka telah mempopulerkan supremasi dan posisi mereka yang kokoh di dalam masyarakat. Bahwa “ilmu pengetahuan adalah kekuatan” telah menjadi sebuah pendekatan yang dapat dipakai untuk memahami masyarakat ini secara lebih baik.

Lebih penting lagi, keterlibatan Hasyim Asy’ari melawan kaum kolonial dan argumenargumennya, pada level akademik, terhadap kaum modernis-muslim pada masa awal, serta posisinya sebagai pemimpin pesantren yang berpengaruh dan independen, pada gilirannya telah membawa posisinya maupun lembaga yang dipimpinnya pada kedudukan yang sangat tinggi, dan menjadi kiblat bagi komunitas pesantren maupun NU.

Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Hasyim Asy’ari juga merupakan seorang penulis yang produktif. Karya-karyanya banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika yang terjadi di masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang kurang memahami secara benar persoalan tauhid atau aqidah, ia lalu menyusun sebuah kitab tentang aqidah, di antaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, ArRisalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al Risalah fi al-Tasawuf, dan lain sebagainya.

Hasyim Asy’ari juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, khususnya majalah NU. Biasanya, tulisannya berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan oleh banyak orang, seperti hukum memakai dasi saat itu, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum merokok, dan lain-lain. Selain membahas masalah fiqhiyah, ia juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan warga NU, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan sebagainya.

Di antara kitab-kitab yang pernah ditulisnya adalah:

  1. Adab al­’Alim wa al­-Muta’allim (kitab tentang etika yang harus dimiliki oleh seorang guru dan murid. Kitab ini merupakan ikhtisar dari kitab Adab al­Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w. 256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq atTa’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w. 591 H); dan Tadzkirat al­Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penulis dengan judul terjemahan Etika Pendidikan Islam, diterbitkan pada tahun 2007 oleh Titian Wacana Press Yogyakarta).
  2. Ziyadatu Ta’liqat (kitab berisi bantahan terhadap pernyataan-pernyataan Syekh Abdullah bin Yasin Pasuruan yang dianggap mendiskreditkan orang-orang Nahdlatul Ulama).
  3. At­ Tanbihatu al­ Wajibat (berisi penjelasan seputar praktek perayaan Maulid Nabi SAW di tanah air).
  4. Ar ­Risalah al ­Jam’iah (mengulas berbagai persoalan tentang kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta penjelasan seputar konsep sunnah dan bid’ah).
  5. An-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin (menjelaskan makna dan hakikat mencintai Rasulullah SAW serta beberapa hal menyangkut itba’ (mengikuti) dan ihya’ (memelihara) terhadap sunnah-sunnah beliau).
  6. Hasyiyatu ‘ala Fath ar­Rahman bi Syarhi Risalati al­Waliy Ruslan li Syaikh al­Islam Zakariya al­Anshori (berisi penjelasan dan catatan-catatan singkat beliau atas kitab Risalat al­Waliy Ruslan karya Syekh Zakariya al-Anshori).
  7. Ad-Durar al-Muntatsirah fi al-Masail at-Tis’a ‘Asyarah (mengulas 19 persoalan seputar tarekat dan hal-hal penting menyangkut para pelaku tarekat. Pada tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH M Yusuf Hasyim, diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus).
  8. At­-Tibyan Fi an­Nahyi ‘an Muqatha’ati al­Arham wa al­Aqaribi wa al­Ikhwan (membahas pentingnya menjaga silaturrahmi dan bahaya memutus silaturrahmi).
  9. Ar­-Risalatu at­Tauhidiyyah (menjelaskan konsep dan akidah ahlussunnah wal jamaah).
  10. Al­-Qalaid Fi Bayani Ma Yajibu Min al­’Aqaid (menjelaskan tentang akidah-akidah wajib dalam Islam).
  11. Dhau-ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah (berisi penjelasan tentang tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam pernikahan).
  12. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’iyah Nahdhatul Ulama’ (berisi penjelasan 40 hadits Nabi terkait dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama).
  13. Mawaidz (berisi fatwa-fatwa dan peringatan bagi umat).
  14. Risalah  fi  Ta’kid  al-Akhdz  bi  Madzhab  al-A’immah  al-Arba’ah (risalah untuk memperkuat pedoman bermadzhab).
  15. Mukaddimah al­-Qanun al-­Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (kitab undang-undang dan prinsip dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama).


Di samping itu, Hasyim Asy’ari juga sangat concern dengan dunia kepustakaan.
Perpustakaan pribadinya di Tebuireng berisi buku-buku keislaman yang sangat penting dan sebagian jarang dijumpai, baik dalam bentuk buku atau kitab maupun manuskrip. Ia memuat sejumlah besar kitab dalam bahasa Arab, Indonesia, Jawa, Malaysia, dan bahasa-bahasa asing lainnya, sehingga perpustakaan ini menyaingi perpustakaan Lembaga Kajian Islam di Jakarta.

Wafat KH. M. Hasyim Asy’ari

Pada tanggal 3 Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M. sekitar pukul 9 malam, usai Hasyim Asy’ari mengimami shalat Tarawih. Seperti biasa, ia duduk di kursi untuk memberikan pengajian. Tak lama kemudian, datang seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Hasyim Asy’ari menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman. Hasyim Asy’ari meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:

  1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.
  2. Hasyim Asy’ari diminta untuk mengungsi ke Sarangan Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, ia akan dipaksa membuat statemen untuk mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
  3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Hasyim Asy’ari.


Keesokan harinya, Hasyim Asy’ari memberi jawaban bahwa ia tidak berkenan untuk mengungsi dan lebih memilih bertahan di Tebuireng. Empat hari kemudian, pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepadanya yang intinya memohon Hasyim Asy’ari mengeluarkan komando “jihad fi sabilillah” bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban.

Tak lama berselang, Hasyim Asy’ari mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo yang lain, bahwa Kota Singosari di Malang (yang merupakan basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim spontan berujar, ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegangi kepalanya. Lalu Hasyim Asy’ari tidak sadarkan diri. Pada saat itu, putera-puteri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut pemeriksaan dokter, Hasyim Asy’ari mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.

Akhirnya, pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari dipanggil yang Maha Kuasa. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Atas jasa-jasannya, Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 akhirnya menetapkan KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional. Hasyim Asyari wafat dalam usia 76 tahun. Jenazahnya dimakamkan di komplek pemakaman pesantren Tebuireng.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KH. M. Hasyim Asy’ari (Silsilah, Pendidikan, Karya, Pesantren, Murid, & Wafatnya Hasyim Asyari Lengkap)"

Posting Komentar