Berikut ini merupakan kutipan dari cerpen yang berjudul "Sepasang Mata Tua".
. . . .
Pukul tiga sore tiba di ambang pintu. Makanan yang kubawa dari rumah telah kuhabiskan. Di luar pagar kebun terdengar suara lelaki tua mendehem. Apa yang terungkap adalah: ia hendak menyapaku, tetapi entah kenapa hal itu tak ia lakukan.
”Masuk, Pak,” ia kusapa sambil menggali lubang buat menanam jahe yang entah terinjak siapa.
Tanpa basa-basi lelaki beruban itu memasuki pintu kebun yang memang selalu terbuka; memandang pepohonan yang kutanam sambil mengomentari ceramah dari pita kaset lewat corong yang dipasang orang yang punya hajatan.
”Berbicara gampang,” ia berkata sinis sambil meletakkan handuk kusut dan kotak sabun yang dibawanya dari rumah. ”Sebetulnya kita harus mendidik diri terlebih dahulu sebelum mendidik orang lain. Kita harus mengendalikan indra sebelum mengendalikan orang lain.”
”Entah siapa yang kasih ceramah,” kalimat itu kuucapkan karena tak tahu bagaimana mesti bereaksi mengimbangi makna kata lelaki tua yang belum sepenuhnya kukenal.
”Siapa saja,” ia menanggapi. ”Sekarang banyak orang menyatakan sesuatu yang mereka sendiri belum yakini. Tak sedikit orang menganjurkan sesuatu yang mereka sendiri tak melakukannya. Munafik. Basa-basi, pura-pura!” Tatapan matanya berputar. ”Maaf, anak muda. Mungkin saya lancang.”
”Teruskan saja,” ia kusambut lalu menyandarkan tubuh pada pohon mangga.
”Tak lama lagi usiaku memasuki tujuh puluh. Sejak muda saya menjadi pegawai. Selama dua periode saya bertugas sebagai kepala desa. Tak ada tugas berat yang pernah kupikul melebihi beratnya menjadi kepala desa. Terpanggang dari atas.
Tersengat dari bawah. Sekarang” ia meraih rokok yang kusodorkan kemudian meneruskan, ”tiap kali ada acara di kampung terkadang mereka meminta pendapatku. Kenapa minta pendapatku? Toh tak akan ada kata-kataku yang dipakai karena ukuran benar dan salah terletak pada wewenang, kekuasaan. Saya orang yang tak punya lagi wewenang. Buat apa mereka minta pendapatku?”
”Barangkali karena Bapak dianggap sesepuh,” kucoba menengahi.
”Ah,” katanya. ”Cuma basa-basi, anak muda! Seolah-olah barang rongsokan yang sudah tidak dibutuhkan sepertiku masih disegani dan dihormati, seolah-olah . . . .”
”Ngomong-ngomong,” aku tak sanggup menyembunyikan rasa tertarikku meneruskan pembicaraan, sebab baru kutahu lelaki tua yang terkadang kulihat mandi di sungai itu bekas kepala desa.
”Bagaimana?” ia penasaran. ”Soal pemilihan kepala desa?” diterkanya apa yang bergerak di balik jidatku.
”Bukan,” aku menidakkan. ”Saya ingin tahu perbedaan yang Bapak rasakan saat menjadi kepala desa dan saat jadi rakyat seperti sekarang. Maksudku, bagaimana Bapak menilai sikap dan tingkah laku
masyarakat terhadap Bapak?”
Laki-laki tua itu tersenyum pahit. Lama ia terdiam sebelum berkata, ”Dulu,” katanya, ”di mana-mana saya selalu diundang sebagai orang pertama. Dulu. Dulu, Nak. Itulah kehidupan. Demikianlah rasanya mata hatiku makin terang melihat mana kepura-puraan dan mana ketulusan. Di ujung hidup baru kutahu di mana-mana jika berkembang biak dengan ketidaktulusan. Jangan jauh-jauh,” ia mengambil perumpamaan, ”lihat di langgar-langgar di kampung. Apakah akan ada orang berebut adzan kalau tanpa mikrofon? Apakah masih ada orang mengabdi tanpa seragam dan status pegawai? Ah, anak muda. Semuanya terjebak pada simbol-simbol.”
”Pengabdian tak memandang posisi,” kalimat yang kukutip dari seorang tokoh begitu enteng meluncur dari mulutku.
. . . .
Sumber: Lalat-Lalat dan Burung-Burung Bangkai, N. Marewo, Yogyakarta, 2004
Itulah tadi contoh kutipan cerpen, semoga bermanfaat 😉
0 Response to "Contoh Kutipan Cerpen Berjudul Sepasang Mata Tua"
Posting Komentar