1. Muhammad Ali Pasya
Muhammad Ali Pasha adalah seorang keturunan Turki yang lahir pada bulan Januari 1765 M di Kawalla, sebuah kota yang terletak di bagian utara Yunani, dan meninggal di Mesir pada tahun 1849. Negeri ini telah menjadi bagian kekuasaan Turki Utsmani yang berpusat di Istanbul sejak ditaklukkan oleh Sultan Muhammad II al-Fatih (855/886 H - 1451/1481 M) pada tahun 857 H/1453 M, dan baru dapat melepaskan diri dari kekuasaan Istanbul pada tahun 1245/1829 M. Ayah Muhammad Ali Pasha bernama Ibrahim Agha, seorang imigran Turki, kelahiran Yunani. Ia mempunyai 17 orang putera dan salah seorang diantaranya bernama Muhammad Ali Pasha.Muhammad Ali Pasha adalah seorang pembaharu Islam pada abad 19 hingga abad 20 M. Ia adalah orang yang pertama kali meletakkan landasan kebangkitan modern di Mesir, setelah munculnya kesadaran umat Islam di Mesir akan kelemahan mereka dalam mengahadapi ekspedisi Perancis oleh Napoleon Bonaparte (1769-1821 M). Selain itu, kontak kebudayaan Barat terhadap umat Islam ketika itu sangat tinggi, ditambah lagi dengan hancurnya kekuatan Mesir oleh Napoleon Bonaparte. Alasan ini kemudian dijadikan tolak ukur bagi para pemuka Islam Mesir untuk melakukan pembaharuan terhadap kondisi umat Islam ketika itu. Muhammad Ali Pasha mulai melakukan upayaupaya pembaharuan terhadap Mesir pada tahun 1765-1848 M. Ketika Muhammad Ali Pasha masuk dalam dinas militer, ia juga menunjukkan kecakapan dan kesanggupannya sehingga pangkatnya cepat naik menjadi perwira. Ketika pergi ke Mesir ia telah berhasil menduduki jabatan wakil perwira dan memimpin pasukan yang dikirim dari daerahnya.
Ia adalah seorang perwira yang berhasil merebut kekuasaan di Mesir setelah tentara Perancis kembali ke Eropa tahun 1801 M. Muhammad Ali Pasha kemudian menjadi penguasa penuh Mesir. Ia menjadi wakil resmi sultan (Kerajaan Utsmani) di Mesir. Untuk memajukan Mesir, Muhammad Ali Pasha melakukan pembenahan ekonomi dan militer. Atas saran para penasihatnya, ia juga melakukan program pengiriman tentara untuk belajar di Eropa. Pemerintahan Muhammad Ali Pasha (1804-1849 M) membedakan pembaharuan yang ada antara struktur politik dan keagamaan di Mesir.
Sejak Muhammad Ali Pasha menguasai Mesir, ia telah banyak melakukan upaya pembaharuan, baik dalam bidang politik, militer, ekonomi, pemerintahan maupun pendidikan. Proses pembaharuan ini dipengaruhi oleh proses transformasi dan majunya ilmu pengetahuan serta teknologi, baik dalam kehidupan sosial maupun perkembangan intelektual yang lahir dari sebuah paradigma baru. Dengan kata lain, pembaharuan merupakan sebuah gerakan yang bertujuan untuk mengubah kondisi ke arah yang lebih baik, yang ditimbulkan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon Bonaparte telah menyadarkan pemikiran Muhammad Ali Pasha. Ia banyak melihat kemajuan yang dicapai negara-negara Barat, terutama Perancis yang begitu hebat. Kemajuan dalam teknologi militer telah membuat Perancis dapat dengan mudah menguasai Mesir (1798-1802 M). Lahirnya keinginan Muhammad Ali Pasha untuk memajukan peradaban modern termotivasi dari unsurunsur dan hal-hal baru yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte, ketika ia memimpin ekspedisi di daerah-daerah kekuasaan pemerintahan yang dibangun oleh umat Islam.
Menurut Muhammad Ali Pasha, kunci utama untuk menciptakan langgengnya kekuasaan adalah mengubah sistem militer. Kemudian Muhammad Ali Pasha mengundang seorang Kolonel Perancis bernama Seve, yang memeluk agama Islam dan mengganti namanya menjadi Sulaiman Pasha. Ia ditugaskan untuk melatih dan memodernisasikan angkatan bersenjata di Mesir. Untuk mendukung kekuatan militer dibutuhkan dana yang sangat banyak terutama untuk keperluan bala tentara, dan semua itu harus ditunjang dengan sistem ekonomi yang baik. Maka kemudian ia pun terdorong untuk mempelajari ilmu ekonomi yang telah berkembang di Eropa.
Tidak hanya militer dan perekonomian yang diperhatikan oleh Muhammad Ali Pasha, tetapi ia juga mengupayakan pengetahuan mengenai administrasi negara. Ini ditunjukannya dengan mendirikan beberapa lembaga yang terkait dengan sekolahsekolah modern, seperti:
- Kementerian Pendidikan pada tahun 1815 M, yang sebelumnya tidak dikenal.
- Sekolah Militer (1815 M), pembentukan sekolah ini untuk memperkuat kekuasaannya di Mesir.
- Sekolah Teknik (1816 M), didirikan agar rakyat Mesir dapat memproduksi persenjataan dan memiliki keahlian dalam berperang.
- Sekolah Kedokteran (1827 M).
- Sekolah Apoteker (1829 M).
- Sekolah Pertambangan (1834 M).
- Sekolah Pertanian (1836 M).
- Sekolah Penerjemahan (1836 M).
Berbagai lembaga itu didirikan untuk memajukan rakyat Mesir. Adapun untuk tenaga pengajarnya Muhammad Ali Pasha mengambil Guru dari Eropa terutama Perancis, Inggris dan Italia. Sedangkan untuk mengetahui ilmu pengetahuan Barat, Muhammad Ali Pasha mengirimkan beberapa pelajar ke luar negeri. Begitu pula dengan para cerdik pandai yang dipimpin oleh Rifa’ah At- Tahtawi. Berbagai ilmu pengetahuan dipelajari mereka, seperti ilmu politik, filsafat dan beberapa ilmu sosial lainnya. Walaupun pada awal kekuasaannya, Muhammad Ali Pasha tidak memperbolehkan mempelajari ilmu politik karena dianggap dapat membahayakan kekuasaannya.
Selain itu, ia juga mengadakan pembaharuan dalam bidang administrasi dan birokrasi yang dianggap sangat penting pengaruhnya bagi masyarakat Mesir, karena masyarakat perlu dikelompokkan dalam suatu pola budaya, tipe, dan organisasi. Sedang dalam bidang pertanian, Muhammad Ali Pasha menyuplai para petani dengan bibitbibit pertanian, alat-alat pertanian dan pupuk untuk dikembangkan oleh para petani.
Hasil pertanian kemudian diperdagangkan dengan keuntungan yang banyak. Adapun berbagai pabrik yang berhasil didirikan antara lain pabrik besi, pabrik gula, pabrik
kertas, pabrik sabun dan pabrik kaca. Dengan beberapa pembaharuan yang dilaksanakan
oleh Muhammad Ali Pasha, Mesir telah banyak mengalami kemajuan di berbagai bidang.
Meskipun mungkin usahanya itu belum mampu menandingi kejayaan bangsa Eropa
dikala itu, namun setidaknya ia telah menunjukkan prestasi yang gemilang terhadap
pembaharuan di Mesir.
Baca juga: 4 Latar Belakang Lahirnya Gerakan Pembaharuan & Modernisasi Dunia Islam👈
2. Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di Delta Nil yang sekarang masuk dalam wilayah Mesir sejak tahun 1849. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, seorang imigran yang berasal dari Turki dan telah lama menetap di Mesir. Adapun sang ibu berkebangsaan Arab yang memiliki garis keturunan dari Khalifah Umar Ibn Khatab. Kedua orang tua Abduh tinggal di desa Mahallah Nashr setelah berpindah-pindah ke banyak tempat. Abduh kecil hingga remaja banyak menekuni pelajaran membaca dan menulis, dan pada usia 12 tahun ia sudah mampu menghafal al-Qur’an dalam bimbingan langsung sang ayah.Pemikiran-pemikiran cemerlangnya mulai muncul ketika ia dikirim belajar secara formal oleh ayahnya ke Perguruan di Masjid Ahmadi untuk mempelajari Bahasa Arab, Nahwu, Shorof, dan lain-lain, yang terletak di desa Thanta, salah satu desa di Mesir. Namun, ia merasa bahwa apa yang dipelajarinya sangat monoton dan ia tidak mengerti apa maksud dari ilmu yang ia dapatkan, karena ia hanya menghafal pelajaran-pelajaran itu tanpa tahu apa substansinya. Ia tidak puas dengan metode belajar yang ada, yang hanya mementingkan hafalan tanpa memahami pengertian dari yang dipelajarinya itu.
Bahkan ia berpikir lebih baik tidak belajar dari pada menghabiskan waktu hanya untuk menghafal istilah-istilah nahwu dan fikih yang tidak dipahaminya, sehingga ia kembali ke Mahallah Nashr (kampungnya) dan hidup sebagai petani serta melangsungkan pernikahan dalam usia 16 tahun. Sang ayah tidak menyetujui langkah yang diambil oleh Abduh, ia memerintahkan Abduh untuk kembali ke Thanta dan menekuni kembali pelajarannya. Dengan terpaksa ia pun kembali ke Thanta. Namun, di tengah perjalanan ia membelokkan langkah kakinya menuju sebuah desa tempat tinggal pamannya, yaitu Syaikh Darwsy Khadir (paman dari ayah Muhammad Abduh) di Kanisah Urin. Syaikh Darwisy adalah seorang penganut aliran tasawuf Thariqah Syadziliyah dan memiliki pengetahuan yang luas. Syaikh Darwsy mengetahui sebab-sebab keengganan Abduh untuk belajar di Thanta, maka ia selalu mengajak Muhammad Abduh supaya membaca buku bersamanya.
Kisah perjalanan hidup Muhammad Abduh diabadikan dalam buku yang berjudul “Muzakirat alImam Muhammad Abduh” karya muridnya, Muhammad Rasyid Ridla. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa pada saat itu ia benci melihat buku, dan buku yang diberikan Darwsy itu dibuangnya jauh-jauh. Lalu buku tersebut dipungut lagi oleh Darwsy dan diberikan lagi pada Abduh. Darwsy selalu sabar menghadapi Abduh, dan pada akhirnya Abduh mau juga membaca buku tersebut beberapa baris. Setiap barisnya Darwisy memberikan penjelasan yang luas tentang arti dan maksud yang terkandung dalam kalimat tersebut. Akhinya Muhammad Abduh berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Dia mulai paham dengan apa yang dibacanya, kemudian ia kembali ke Thanta pada bulan Oktober 1865 M/1286.
Muhammad Abduh lalu melanjutkan pendidikan di Thanta, akan tetapi hanya 6 bulan lalu pergi menuju al-Azhar yang diyakininya sebagai tempat mencari ilmu yang sesuai untuknya. Di al-Azhar, ia pun hanya mendapatkan pelajaran ilmu-ilmu agama dengan metode yang sama dengan di Thanta. Hal ini membuatnya kembali kecewa. Dalam salah satu tulisannya ia menyatakan rasa kecewanya tersebut dengan menyatakan bahwa metode pengajaran yang verbalis itu telah merusak akal dan daya nalarnya.
Rasa kecewa itulah yang menyebabkan Abduh akhirnya menekuni dunia sufistik. Pada tahun 1871 Abduh bertemu dengan Jamaludin al-Afghany yang datang ke Mesir pada tahun itu. Dari al-Afghany, ia mendapatkan pengetahuan filsafat, ilmu kalam dan ilmu pasti (eksak). Meskipun sebelumnya ia telah mendapatkan ilmu-ilmu tersebut di luar al-Azhar, namun metode yang dipakai oleh al-Afghany adalah metode yang telah lama dicarinya selama ini, sehingga ia lebih puas menerima ilmu-ilmu itu dari guru barunya tersebut. Abduh mengungkapkan bahwa al-Afghany telah melepaskannya dari kegoncangan jiwa yang dialaminya. Al-Afghany adalah seorang pemikir modern yang masih memiliki garis keturunan dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia adalah seorang ulama yang sangat cerdas dalam memecahkan persoalan–persoalan rumit yang dihadapkan kepadanya, seperti solusi yang ia berikan pada saat Mesir mengalami krisis keuangan akibat menumpuknya hutang negara pada kurun waktu tahun 1871 sampai 1879.
Metode pengajaran yang digunakan oleh al-Afghany adalah metode praktis yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara berdiskusi. Selain pengetahuan teoritis, al-Afghany juga mengajarkan pengetahuan praktis, seperti berpidato, menulis artikel, dan sebagainya. Sehingga membawanya dapat tampil di depan publik. Ia mengajar manthiq (logika), tasawuf, fisafat, ilmu pasti dan lain-lain di rumahnya. Ia mememiliki pemikiran dan semangat tinggi untuk memutus mata rantai kejumudan berfikir dan cara-cara berfikir yang fanatik. Akhirnya Muhammad Abduh menjadi pelopor penyebaran pemikiran Jamaluddin al-Afghany di kampus al-Azhar hingga berkembang luas ke seluruh Mesir bahkan dunia.
Setelah Abduh menyelesaikan studinya di al-Azhar pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir, Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Darul Ulum, Universitas al-Azhar, dan perguruan bahasa Khadevi. Ia mengajarkan berbagai mata pelajaran seperti teologi, sejarah, ilmu politik dan kesusastraan Arab. Pada tahun 1877-1882, ia diasingkan ke Beirut karena terlibat gerakan politik, ia dituduh bersekongkol untuk menggulingkan Khadevi Tawfik. Di pengasingan ini ia bekerja sebagai guru sekaligus penulis. Kegiatan pembelajaran dilanjutkannya lagi di Beirut.
Ia menterjemah kitab-kitab ke dalam bahasa Arab. Di Beirut pula ia menyelesaikan penulisan bukunya yang termasyur Risalah alTawhid yang mulai ditulisnya semasa mengajar di Madrasah Sulthaniyah, di samping beberapa buku terjemahan yang lain. Untuk kepentingan gerakan, Syaikh Muhammad Abduh telah menulis beberapa buku, antara lain alIslam wa Nashraniyah ma’al Ilmi wal Madaniyah.
Tahun 1888 ia kembali ke Mesir setelah selesai masa pengasingannya. Ia diperbolehkan kembali ke kota Kairo dan diberi kepercayaan memimpin surat kabar alWaqa’i alMishriyah. Pada tahun 1882 bersama Urabi Pasya, Abduh ikut bergabung dalam gerakan politik menentang ketidakadilan negara. Ia kemudian diasingkan lagi ke Beirut dan Perancis. Di Perancis ia bertemu kembali dengan Jamaluddin al-Afghani dan kemudian menerbitkan majalah alUrwatul Wutsqa. Lalu ia kembali lagi ke Mesir. Namun karena pemerintah merasa khawatir akan pengaruh Abduh yang semakin diterima masyarakat luas, akhirnya Abduh tidak diperbolehkan mengajar oleh pemerintah Mesir. Ia kemudian bekerja sebagai hakim agama (mufti) dan menjadi anggota majelis alA’la alAzhar yang berhasil membawa perubahan-perubahan di lembaga pendidikan tertua tersebut. Ia diangkat menjadi mufti sejak tahun 1899.
Pembaharuan kedua yang dilakukannya adalah ketika ia menjabat sebagai mufti di tahun 1899 menggantikan Syaikh Hasanuddin al-Nadawi. Usaha pertama yang dilakukannya adalah memperbaiki pandangan masyarakat bahkan pandangan para mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai hakim. Para mufti sebelumnya berpandangan, bahwa mufti betugas sebagai penasehat hukum bagi kepentingan negara. Diluar itu seakan mereka melepaskan diri dari masyarakat umum yang mencari kepastian hukum. Namun bagi Abduh, seorang mufti bukan hanya bekerja pada negara,
tetapi juga pada masyarakat luas. Dengan demikian kehadiran Muhammad Abduh tidak hanya dibutuhkan oleh negara tapi juga oleh masyarakat luas.
Langkah pembaharuan ketiga yang dilakukannya adalah dengan mendirikan organisasi sosial yang bernama alJami’at alKhairiyyah alIslamiyyah pada tahun 1892. Organisasi ini bertujuan menyantuni fakir miskin dan anak-anak dari keluarga yang tidak mampu. Selain itu, lembaga wakaf juga merupakan salah satu institusi yang tidak luput dari perhatiannya, sehingga ia membentuk majelis administrasi wakaf dan berhasil memperbaiki perangkat masjid.
Namun demikian, tidak semua ide dan pemikiran pembaharuan yang dilakukannya dapat diterima oleh penguasa dan pihak al-Azhar. Penghalang utama yang dihadapinya adalah para ulama yang berpikiran statis beserta masyarakat awam. Ketika menghadapi banyak rintangan tersebut Abduh jatuh sakit dan meninggal pada 8 Jumadil Awal 1323 H/ 11 Juli 1905. Jenazah Muhammad Abduh dikebumikan di pemakaman negara di Kairo.
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh adalah:
- Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk oleh keluarga dan gurunya, terutama Syaikh Darwisy dan Sayyid Jamaludin al-Afghani. Di samping itu, faktor lingkungan dan sistem pendidikan di Thanta dan Mesir yang tidak efektif, serta sikap keagamaan yang statis dan adanya fikiran-fikiran yang jumud yang ia temukan di masyarakat.
- Faktor kebudayaan, berupa ilmu yang diperolehnya selama belajar di sekolahsekolah formal sekaligus pengaruh langsung pemikiran Jamaludin al-Afghani, serta pengalaman yang ditimbanya dari Barat ketika ia diasingkan ke Perancis.
- Faktor politik yang bersumber dari situasi politik di masanya sejak ia masih tinggal di lingkungan keluarganya di Muhallaf Nashr, sampai ketika ia kuliah hingga ia wafat.
Ketiga faktor di atas merupakan hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran Muhammad Abduh dalam berbagai bidang, baik teologi, syari’ah, pendidikan, sosial, politik, hingga kebudayaan. Pemikirannya yang paling menonjol adalah terkait bidang teologi yang difokuskan pada aspek perbuatan manusia (af’al dan ‘ibad), konsep qadha dan qadar serta sifat-sifat Tuhan.
Gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan Muhammad Abduh tidak terlepas dari karakter dan watak yang terbentuk sejak ia kecil, yaitu cinta pada ilmu pengetahuan. Abduh memiliki 3 (tiga) agenda pembaharuan, yaitu:
1. Purifikasi
Purifikasi atau pemurnian ajaran Islam merupakan fokus perhatian serius Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid`ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim. Dalam pandangan Muhammad Abduh, seorang muslim wajib menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan syirik dalam bentuk apapun.
2. Reformasi Pendidikan Islam
Reformasi pendidikan Islam difokuskan Muhammad Abduh pada universitas Al-Azhar tempat ia menimba ilmu. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi doktrindoktrin ajaran Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari ilmu pengetahuan modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab sebab kemajuan yang telah mereka capai. Selain itu, dalam bidang pendidikan nonformal Muhammad Abduh juga menyebutkan pentingnya upaya perbaikan (ishlah).
Dalam hal ini Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama adalah:
- Menyampaikan kewajiban dan pentingnya belajar.
- Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui.
- Memberikan semangat ke dalam jiwa para pendakwah untuk cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin.
3. Pembelaan atas Islam
KaryaRisalah alTauhidyang ditulis oleh Abduh dimaksudkan untuk mempertahankan jati diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing dalam paham keislaman merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh tidak pernah menaruh perhatian terhadap paham-paham filsafat anti-agama yang saat itu marak di Eropa. Dia lebih tertarik memperhatikan serangan-serangan terhadap agama Islam dari sudut keilmuan. Ia yakin bahwa Islam dan ilmu pengetahuan tidak mungkin bertentangan, tetapi antara ilmu dan agama bekerja pada tingkat yang berbeda. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan jati diri Islam dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran ilahi yang dipelajari melalui agama. Oleh karena itu ia sangat menjunjung tinggi ijtihad.
Karena ijtihad membuktikan bahwa Islam tidak diturunkan untuk mendukung kejumudan, akan tetapi Islam diturunkan bergerak dinamis seiring perkembangan manusia dan problem-problem kemanusiaan.
3. Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir Sialkot, Punjab, India pada tanggal 9 November 1877. Ia dikenal juga dengan nama ‘Allama Iqbal. Ayahnya Nur Muhammad, pada mulanya adalah seorang pegawai negeri, kemudian menjadi seorang pedagang yang menempuh jalur sufistik. Megenai nama ibunya tidak banyak sumber tertulis yang menjabarkannya, namun dari syair yang dibuat oleh Iqbal tampak bahwa ibunda Iqbal adalah seorang wanita yang taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demikian pula Iqbal juga mencintainya. Dengan demikian, Iqbal lahir dari ibu dan bapak yang sama-sama taat beragama.Pendidikan pertama Iqbal diperoleh dari ayahnya dengan belajar al-Qur’an sekaligus menghafalnya. Kemudian dilanjutkan dengan sekolah pertamanya di The Scottish Mission College dikampung halamannya di Sialkot. Guru-gurunya selalu memberikan dorongan bagi kemajuan Iqbal yang sangat
tertarik pada sastra dan agama. Gurunya antara lain ialah Mir Hasan, seorang ulama besar dan guru dalam ilmu sastra Persia dan Arab. Dialah yang pertama kali menempa pelajaran agama ke dalam jiwa Muhammad Iqbal. Sejak itu, Muhammad Iqbal gemar menggubah syair-syiar dalam bahasa Urdu, dan bakatnya itu semakin berkembang setelah ia tinggal di Delhi, pusat intelektualisme kawasan Pakistan saat itu.
Sesudah menikah, pada tahun 1895 Iqbal hijrah ke Lahore untuk melanjutkan sekolah tingkat atas. Di sekolah inilah Iqbal akhirnya bertemu dengan Orientalis Inggris terkenal, Sir Thomas Arnold, yang segera menyadari kecerdasan Iqbal. Orientalis adalah sebutan untuk ilmuwan Barat yang tertarik mendalami kajian keislaman di dunia timur.
Sir Thomas mendorong Iqbal untuk melanjutkan studi di Inggris. Akhirnya ia berangkat ke Inggris pada tahun 1905 untuk belajar filsafat dan hukum. Guru terkemukanya di Cambridge adalah Nco-Hegelian Motaggart. Pada tahun 1907 ia kemudian meninggalkan Inggris menuju Jerman, mempelajari bahasa di Haidelbarg dan mengajukan tesisnya tentang perkembangan metafisika di Persia (The Development of Metaphisich in Persia).
Setelah berhasil memperoleh gelar Doktor bidang filsafat dari Munich, Jerman, Iqbal kembali ke London, memberi kuliah di musim semi tahun 1908 tentang topik–topik keislaman, kemudian kembali ke India pada musim panas. Sejak itu ia aktif memberikan kuliah tentang filsafat dan sastra Inggris di India. Ia juga terjun sebagai pengacara. Akan tetapi beberapa waktu kemudian ia berhenti mengajar, untuk selanjutnya mengkonsentrasikan diri pada bidang hukum.
Iqbal muncul memberi respon terhadap kondisi umat Islam tidak saja dengan menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi muslim India, tetapi sekaligus juga menjawab kemunduran yang mayoritas sedang dihadapi oleh komunitas muslim di dunia secara keseluruhan. Respon yang ia berikan terhadap problem spesifik komunitas muslim India ia kemukakan pada tahun 1930 dalam rapat tahunan liga muslim, dengan membentuk negara tersendiri bagi komunitas muslim yang terpisah dari India yang Hindu. Ketika itu ia menyatakan: I would like to see the Punjab, Nort West Frontior Province, Sind and Balochistan amalgamated into a single State (saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan barat laut, Sindi dan Balukistan menyatu menjadi satu negara tersendiri).
Selanjutnya pada tanggal 14 Agustus 1947 lahir sebuah negara bernama Pakistan yang merupakan pecahan dari negara India. Iqbal yang telah menyatakan perlunya negara tersendiri bagi komunitas muslim tersebut kemudian dipandang sebagai “Bapak Pakistan”.
Tiga buah gagasan Iqbal sebagai kontribusinya dalam gerakan pembaharuan Islam modern antara lain:
1. Pan Islamisme. Obsesi Iqbal mengenai terbentuknya negara tersendiri bagi komunitas muslim tidaklah bertentangan dengan faham Pan-Islamisme. Iqbal menyatakan bahwa Islam bukan nasionalisme dan bukan pula imperialisme, melainkan sebuah lembaga bangsa-bangsa yang mengakui adanya batasan-batasan perbedaan rasial, namun itu hanya untuk mempermudah perkenalan belaka (li ta’arofuu), dan bukan untuk membatasi cakrawala sosial para anggotanya.
2. A Free Personal Causality. Respon Iqbal terhadap kemandegan dan kejumudan intelektual umat Islam termasuk juga komunitas muslim di India ia sampaikan melalui pemikiran-pemikirannya antara lain tentang ego atau kehendak manusia: kebebasan dan keabadiannya. Iqbal mengemukakan bahwa adanya kebebasan manusia, sebagai dasar adanya pertanggung jawaban. Ia memandang kehendak sebagai “a free personal causality” atau hukum sebab akibat dari kehendak pribadi.
Manusia bebas melakukan kehendaknya, namun ia memerlukan pertanggungjawaban dari pelakunya. Termasuk dalam konsep ini adalah pendapatnya tentang ijtihad. Bahkan menurut Iqbal ijtihad merupakan “the principle of movement in the structure of Islam”. Dengan demikian, dalam konsep ijtihad terdapat pula aspek perubahan, karena dengan adanya perubahan itulah ijtihad perlu dilakukan. Bukan hanya adanya perubahan, bahkan juga dinamika alam semesta. Dari sinilah Iqbal amat cerdik menemukan ajaran dinamisme. Ia menangkap adanya prinsip dinamika hampir pada semua segi, termasuk jatuh bangunnya suatu umat juga tidak terlepas dari prinsip dinamika ini. Iqbal melihat adanya kombinasi kaum konservatif terhadap faham rasionalis (yang hanya mengandalkan logika) dengan cara menggunakan otoritas syariat untuk membuat umat tunduk dan diam, sebagai salah satu sebab terjadinya kebekuan hukum Islam yang pada gilirannya menjadikan ijtihad sebagai sesuatu yang terlarang. Hal itu dilakukan semata-mata demi stabilitas sosial untuk mendukung kesatuan politik yang sebenarnya otoriter terhadap segala sendi kehidupan termasuk agama.
3. Faham Dinamisme. Faham inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan di India. Terapi Iqbal dengan faham dinamikanya ini amat tepat dilihat dari sudut keminoritasan komunitas muslim ditengah-tengah komunitas Hindu yang mayoritas, karena dengan menyuntikkan semangat dinamisasi ke dalam komunitas muslim menyebabkan mereka dapat tampil dengan eksistensinya (keberadaannya) secara penuh.
4. Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin al-Afghani lahir di As’adabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistan, pada tahun 1839, dan meninggal di Istambul tahun 1897. Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qadha dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang menjadikan umat menjadi statis.Sebab-sebab lain lagi adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua hal itu antara lain menurut pendapatnya ialah umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam harus diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman. Ia juga menganjurkan umat Islam untuk mengembangkan pendidikan secara umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam menghadapi dominasi dunia Barat. Ia berpendapat tidak ada sesuatu dalam ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal/ilmu pengetahuan, atau dengan kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Selanjutnya bagaimana ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik al-Afghani tentang negara dan sistem pemerintahan akan diuraikan berikut ini:
1). Bentuk Negara dan Pemerintahan
Menurut al-Afghani, Islam menghendaki bahwa bentuk pemerintahan adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada Undang-Undang. Pendapat seperti ini tergolong baru dalam sejarah politik Islam yang selama itu hanya mengenal bentuk khalifah yang mempunyai kekuasaan absolut. Pendapat ini tampak dipengaruhi oleh pemikiran Barat, sebab Barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun pemahaman al-Afghani tentunya tidak lepas dari prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Penafsiran atau pendapat ini lebih maju dibanding Abduh yang menyatakan bahwa Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan tertentu. Ini mengandung makna bahwa apapun bentuk pemerintahan, Abduh menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis.
2). Sistem Demokrasi
Dalam sistem pemerintahan yang absolut dan otokratis tidak ada kebebasan berpendapat. Kebebasan hanya dimiliki para raja/kepala negara untuk bertindak dan tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokratis. Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas paling khas dari pemerintahan berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan pemerintahan republik sebagaimana berkembang di Barat dan diterapkan oleh Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti sistem pemerintahan khalifah. Dalam pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura (musyawarah) dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman, karena pengetahuan manusia secara individual terbatas sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar dapat dipraktikkan dalam berbagai urusan.
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling taat kepada undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan menurut al-Afghani adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat.
3). Pan Islamisme / Solidaritas Islam
al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang negaranya sudah merdeka maupun masih dalam jajahan bangsa Barat. Gagasannya ini terkenal dengan sebutan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam.
Persatuan umat Islam benar-benar menjadi tema pokok pada setiap tulisan alAfghani. Ia menginginkan agar umat Islam mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman yang kehilangan kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama. Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi’ah, dapat dijembatani sehingga ia menyerukan kepada bangsa Persia dan Afghan supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi’ah dan yang kedua non-syiah, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide rekonsiliasi umum dari kedua sekte tersebut. Al-Afghani menekankan solidaritas sesama muslim karena ikatan agama, bukan ikatan etnik atau rasial. Inilah ide orisinil yang merupakan bentuk solidaritas umat yang dikenal dengan PanIslamisme atau alJami’ah alIslamiyah (persaudaraan sesama umat Islam sedunia).
0 Response to "4 Tokoh Pembaharuan dan Modernisasi Dunia Islam (Muhammad Ali Pasya, Abduh, Iqbal, Jamaluddin al-Afghani)"
Posting Komentar