Para Tokoh Ilmu Hadis, Tafsir, Fikih, Tasawuf, Bahasa, Sejarah, Geografi, Kedokteran pada Dinasti Umayyah

A. Tokoh Bidang Ilmu Hadis pada Dinasti Umayyah

Pada masa Rasulullah Saw, ada larangan menulis hadis selain al-Qur’an. Namun sebagian Sahabat ada yang menulisnya untuk keperluan sendiri, seperti abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Ali bin Abi Thalib. Adapun jumlah hadis yang mereka tulis adalah Abu Hurairah (5374 hadis), ‘Aisyah (2210 hadis), Abdullah bin Umar (± 2210 hadis), Abdullah bin Abbas (± 1500 hadis), Jabir bin Abdullah (±1500 hadis), Anas bin Malik (±2210 hadis). Penulisan hadis dikembangkan oleh muridnya Abu Hurairah yaitu Basyir bin Nahik dan Hammam bin Munabbib.

Para Tokoh Ilmu Pengetahuan pada Dinasti Umayyah

Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86), Para tabi’in mulai menulis hadis dan berkembang dengan gerakah rihlah ilmiah, yaitu pengembaraan ilmiah yang dilakukan para muhaddisin dari kota ke kota untuk mendapatkan suatu hadis dari Sahabat yang masih hidup dan tersebar di berbagai kota.

Dalam perkembangan selanjutnya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz merencanakan pembukuan hadis. Hal pokok alasan yang mendorong Umar bin Abdul Aziz untuk pembukuan hadis, yaitu Pertama, Beliau khawatir hilangnya hadis-hadis dengan meningggalnya para ulama di medan perang. Kedua, Beliau Khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu. Ketiga, dengan semakin meluasnya daerah kekusaan Islam, sementara kemampuan thabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.

Beliau memerintahkan para gubernur dan para ulama untuk mengumpulkan hadis. Salah satunya, Gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazim (wafat tahun 117 H). Dia diperintah oleh Khalifah untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad bin Abu Abu Bakar. Amrah adalah anak angkat Siti Aisyah dan orang yang terpercaya untuk menerima Hadis dari Siti Aisyah.

Selain kepada Gubernur, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan salah seorang ulama besar di Hijaz dan Syria, Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Az-Zuhri, dikenal dengan Ibnu Syihab al Zuhri. Ia bekerja sama dengan para perawi yang dianggap ahli untuk dimintai informasi tentang hadis-hadis Nabi yang berceceran ditengah masyarakat Islam untuk dikumpulkan, ditulis dan dibukukan. Usahanya cukup baik, walaupun Khalifah Umar bin Abdul Aziz tidak melihat secara langsung karena lebih dulu meninggal.

Az Zuhri dianggap pengumpul hadis yang pertama pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz ini setelah generasi az Zuhri, pembukuan hadis dilanjutkan  oleh Ibnu Juraij (w. 150 H), ar-Rabi’ bin Shabih (w. 160 H), dan masih banyak lagi ulama lainnya. pembukuan hadis dimulai sejak akhir masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi belum begitu sempurna. Pembukuan Hadis mencapai sempurna pada Masa Dinasti Bani Abbasiyah. Pada tahap selanjutnya, program pengumpulan hadis mendapat sambutan serius dari tokoh-tokoh Islam, seperti:

  1. Imam Bukhari dengan kitab Shahih Bukhari
  2. Imam Muslim, dengan kitab Shahih Muslim
  3. Abu Daud dengan kitab Sunan Abu Daud
  4. An-Nasa’i, dengan kitab Sunan An-Nasa’i
  5. At-Tirmidzi dengan kitab Sunan An-Nasa'i
  6. Ibnu Majah dengan kitab Sunan Ibnu Majah

Kumpulan para ahli Hadis tersebut di atas, terkenal dengan nama Kutubus Shittah.
Baca juga: 4 Masa Kepemimpinan Dinasti Umayyah II di Andalusia / Spanyol👈

B. Ilmu Tafsir Pada Dinasti Umayyah

Untuk memahami al-Qur’an para Ahli telah melahirkan sebuah disiplin ilmu baru yaitu ilmu Tafsir, ilmu ini dikhususkan untuk mengetahui kandungan ayatayat Al-Qur’an. Ketika Nabi masih hidup, penafsiran ayat-ayat tertentu telah dipersiapkan maknanya oleh Malaikat Jibril. Setelah Rasulullah wafat para sahabat Nabi seperti Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud. Ubay bin Ka’ab mulai menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an bersandar dari Rasulullah lewat pendengaran mereka ketika Rasulullah masih hidup. Mereka dianggap sebagai pendiri mazhab tafsir dalam islam. Dalam periode ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu Tafsir diantaranya:

  1. Madrasah Mekkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas, Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
  2. Madrasah Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab AlQurodli.
  3. Madrasah Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, di antara murid-muridnya yang terkenal adalah al-Qomah bin Qois, Hasan al-Basry dan Qotadah bin Di’amah As-Sadusy.

Sebagian Sahabat, seperti Umar bin Khattab, beliau tidak menafsirkan ayatayat mutasyabihat. Sikap seperti ini karena al-Qur’an dianggap sebagai kitab suci yang tidak boleh ditafsirkan. Mereka berpendapat bahwa tafsir al-Qur’an merupakan sesuatu yang diluar perintah agama.

Masalah tafsir menimbulkan berbagai sikap yang berparensi antara lain Syafiq bin Slamah al Asadi apabila ditanya tentang suatu ayat, ia hanya menjawab “Allah Maha Benar dengan yang dimaksud”. Maksudnya adalah ia tidak berkeinginan untuk membahas makna yang ditanyakan. Pada masa pemerintahan Dinasti Bani Umayyah terdapat seorang ahli Tafsir bernama Sa’id bin Zubair (w. 95 H). Ia diminta menafsirkan beberapa ayat al Quran, tapi dia menolaknya. Bahkan ia lebih memilih kehilangan salah satu anggota tubuhnya daripada harus menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang diminta.


C. Ilmu Fikih

Al-Qur’an sebagai kitab suci yang sempurna, merupakan sumber utama bagi umat Islam, terkhusus dalam menentukan masalah-masalah hukum. Pada masa Khulafaurrasyidin, penetapan hukum disamping bersumber dari Rasulullah dilakukan sebuah metode penetapan hukum, yaitu ijtihad. Ijtihad pada awalnya hanya pengertian yang sederhana, yaitu pertimbangan yang berdasarkan kebijaksanaan yang dilakukan dengan adil dalam memutuskan sesuatu masalah.

Pada tahap perkembangan pemikiran Islam, lahir sebuah ilmu hukum yang disebut Fiqih, yang berarti pedoman hukum dalam memahami masalah berdasarkan suatu perintah untuk melakukan suatu perbuatan, perintah tidak melakukan suatu perbuatan dan memilih antara melakukan atau tidak melakukannya. Dasar dan pedoman pokok yang telah dibukukan kemudian disebut Ushul Fiqih. Tradisi ijtihad sudah berlangsung sejak Zaman Nabi Muhammad Saw. Pelaksanaan wah di Yaman. Ia akan menggunakan nalarnya dalam memutuskan perkara jika tidak terdapat rujukan dalam Al-Qur’an dan hadis. Setelah itu, bermunculan para ahli Fiqih ternama antara lain: Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, dan ibnu Abbas.

Pada perkembangannya, perbedaan pendapat para ahli Fiqih semakin tajam. Ahli fiqih Hijaz dan Ahli fikih irak berbeda pendapat dalam pengambilan Ra'yu sebagai argumen. Ahl Fiqih Hijaz berpegang pada Atsar (ketetapan hukum yang pernah dilakukan para Sahabat) sebagai argumentasi hukum. Mereka tidak menekankan pada Ra’yu. Sedangkan ahli Fiqih Irak cenderung kepada Ra’yu. Akhirnya ahli fikih hijaz menganggap Ahli fiqih irak mengabaikan sunah. Sebaliknya Ahli fiqih irak menganggap Ahli fiqih hijaz menganut pemikiran jumud yaitu pemikiran kolot dan tradisional.

Ulama-ulama tabi’in Fiqih pada masa bani Umayyah diantaranya adalah:, Syuriah bin al-Harits, al-Qamah bin Qais, Mauruq al-Ajda, Al-Aswad bin Yazid kemudian diikuti oleh murid-murid mereka, yaitu: Ibrahim an-Nakh’l (w. 95 H) dan ‘Amir bin Syurahbil as Sya’by (w. 104 H). sesudah itu digantikan oleh Hammad bin Abu Sulaiman  (w. 120 H), guru dari Abu Hanifah.

Pada zaman dinasti Umayyah ini telah berhasil meletakkan dasar-dasar hukum Islam menurut pertimbangan kebijaksanaan dalam menetapkan keputusan yang berdasar al-Qur’an dan pemahaman nalar/akal.


D. Ilmu Tasawuf

Tasawuf merupakan sebuah ilmu tentang cara mendekatkan diri kepada Allah saw, tujuannya agar hidup semakin mendapatkan makna yang mendalam, serta mendapatkan ketentraman jiwa. Ilmu tasawuf berusaha agar hidup manusia memilki akhlak mulia, sempurna dan kamil. Munculnya tasawuf, karena setelah umat semakin jauh dari Nabi, terkadang hidupnya tak terkendali, utamanya dalam hal kecintaan terhadap materi.
Tokoh sufi antara lain:
1. Sa’id bin Musayyab
Sa’id bin Musayyab wafat tahun 91 H/710 M adalah murid dan menantu Abu Hurairah (seorang ahli Suffah). Ia mencontohkan hidup zuhud pada pengikutnya. Dalam satu riwayat, ia ditawari sejumlah 35.000 dirham uang perak oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan, tetapi dia Tolak.

2. Hasan Al-Basri
Hasan al-Basri lahir di Madinah tahun 21 H/642 M dan meninggal di Basra pada tahun 110 H/729 M. Ibunya adalah seorang hamba sahaya Ummu Salamah, Istri Rasulullah Saw. Hasan Basri berkembang di lingkungan yang saleh. Ia banyak belajar dari Ali bin Abi Thalib dan Huzaifah bin Yaman, dua Sahabat Nabi Muhammad Saw. Ia mengenalkan kepada umat tentang pentingnya tasawuf, karena tasawuf dapat melatih jiwa/hati memiliki sifat zuhud (hatinya tidak terpengaruh dengan harta benda, walau lahiriyah kaya), sifat roja’(harta benda, anak-anak, jabatan tidak bisa menolong hidupnya tanpa adanya harapan ridho dari Allah Swt) dan sifat khauf (sifat takut kepada Allah Swt yang dalam dan melekat dalam jiwanya).

3. Sufyan Ats-Tsauri
Sufyan As Tsaauri lahir di Kuffah tahun 97-161 H/ 716-778 M. Ia mempunyai nama lengkap: Abu Abdullah Sufyan bin SA’id Ats-Tsauri. Ia menjalani kehidupan penuh kesederhanaan dan menganjurkan zuhud. Pemikiran bidang taswuf merangkum sebagai berikut:

  • Manusia dapat memiliki sifat zuhud, bila saat ajalnya menghampirinya, karena kelezatan dunia telah diambil Allah Swt, maka manusia baru ingat makna kehidupannya.
  • Manusia dalam menjalani hidup di dunia harus bekerja keras agar hidupnya tercukupi, dengan kerja manusia dapat terhindar dari kegelapan dan kehinaan.


E. Ilmu Bahasa dan Sastra

Pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa administrasi negara. Penggunaan bahasa arab yang makin luas membutuhkan suatu panduan kebahasaan yang dapat dipergunakan oleh semua golongan. Hal itu mendorong lahirnya seorang ahli bahasa yang bernama Sibawaihi. Ia mengarang sebuah buku yang berisi pokok-pokok kaidah bahasa Arab yang berjudul al-Kitab. Buku tersebut bahkan termashur hingga saat ini.

Bidang kesusastraan juga mengalami kemajuan. Hal itu ditandai dengan munculnya sastrawan sastrawan berikut ini :

  1. Nu’man bin Basyir al Anshari (w, 65 H/680 M)
  2. Qays bin Mulawwah, termasyhur dengan sebutan Laila Majnun (w. 84 H/ 699 M)
  3. Al-Akhthal (w. 95/710 M)
  4. Abul Aswad al-Duwali (69 H)
  5. Al-Farazdaq (q. 114 H / 732 M)
  6. Jarir (w. 111 H /792 M).


F. Ilmu Sejarah dan Geografi

Ilmu sejarah dan geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat. Pada Masa Dinasti Bani Umayyah, Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan memerintah Ubaid bin Syariyah Al Jurhumi untuk menulis buku sejarah masa lalu dan masa bani Umayyah. Di antara karyanya adalah kitab al-Muluk wal Akhbar al-Madhi ( buku catatan sejarah Raja-raja masa lalu). Sejarawan lainnya adalah Shuhara Abdi yang menulis buku Kitabul Amsal.
Baca juga: 7 Khalifah Paling Berpengaruh Bani Umayyah👈

G. Ilmu Kedokteran

Ilmu kedokteran belum berkembang dengan baik pada masa Dinasti Bani Umayyah. Tetapi pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik telah terjadi perkembangan cukup baik di bidang kedokteran. Ia mendirikan sekolah tinggi kedokteran pada tahun 88 H/706 M. Khalifah Walid memerintahkan para dokter untuk melakukan riset dengan anggaran yang cukup. Para dokter bertugas di lembaga tersebut dengan gaji negara.

Dalam rangka mengembangkan ilmu kedokteran, Khalifah meminta bantuan para dokter dari Persia. Di lembaga inila, Harits bin Kildah dan Nazhar meraih ilmu kedokteran. Selain itu, gerakan terjemah buku-buku kedokteran mendukung perkembangan ilmu kedokteran di masa Bani Umayyah. Khalid bin Zayid bin Mu’awiyah adalah orang pertama yang menerjemahkan buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia. Disamping itu, Khalid bin Yazid merupakan seorang penyair dan orator yang terkenal.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Para Tokoh Ilmu Hadis, Tafsir, Fikih, Tasawuf, Bahasa, Sejarah, Geografi, Kedokteran pada Dinasti Umayyah"

Posting Komentar