Pembagian Kerja Wali Songo dan Strategi Dakwah Wali Songo

Pembagian Kerja Dewan Wali Songo

Mengenai pembagian kerja Dewan Wali Songo secara struktural, menurut hasil penelitian Widji Saksono (1996: 97-100) adalah sebagai berikut:

  1. Sunan Ampel: Mengurus susunan aturan syariat dan hukum perdata, khususnya berkenaan dengan masalah nikah, talak, rujuk.
  2. Sunan Bonang: Merapikan aturan-aturan termasuk di dalamnya kaidah ilmu, selain menggubah lagu, nyanyian maupun gamelan Jawa.
  3. Sunan Gresik: Mengubah pola dan motif batik, lurik maupun perlengkapan berkuda.
  4. Sunan Drajad: Mengurus hal ikhwal pembangunan rumah maupun berbagai ragam alat angkut.
  5. Sunan Muria: Mengurus hal ikhwal perkara masakan (makanan) maupun alat tani dan barang pecah belah lainnya.
  6. Sunan Gunung Jati: Selain bertugas memperbaiki doa, mantra bagi pengobatan batin, firasat, jampi-jampi bagi pengobatan lahir, ia juga mempunyai tugas untuk membuka hutan, mengurus transmigrasi atau membuka desa baru (perluasan wilayah).
  7. Sunan Giri: Bertugas menggubah perhitungan bulan, tahun, windu, lalu menyusun dan merapikan segala perundang-undangan kerajaan, termasuk urusan protokolernya. Secara teknis Sunan Giri bertugas membuat kertas.
  8. Sunan Kalijaga: Bertugas mengurus bidang-bidang seni-budaya, misalkan menggubah dan menciptakan langgam maupun gending.
  9. Sunan Kudus: Bertanggungjawab atas perlengkapan persenjataan, perawatan bahan besi dan emas, juga membuat peradilan dengan undang-undang syariat.


Pembagian Kerja Wali Songo dan Strategi Dakwah Wali Songo


Strategi Dakwah Wali Songo

Sebagaimana telah disinggung pada Bab sebelumnya, Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara sejak abad ke-7 Masehi, namun baru diminati oleh penduduk asing dari China, Arab dan Persia. Baru pada akhir abad ke-15 hingga paruh abad ke-16 ada sekumpulan tokoh penyebar Islam yang berjuluk Wali Songo berhasil mengislamkan penduduk pribumi dengan metode dakwah yang khas, tanpa menimbulkan pergolakan dan penolakan.

Wali Songo berhasil menjelaskan apa itu Islam dan seluk-beluknya dengan perangkat-perangkat budaya yang ada dan dapat dihayati oleh masyarakat. Islam “dibumikan” dengan prinsip bil hikmah wal mauidzatil hasanah wajadilhum billati hiya ahsan. Penjelasan mengenai Islam dikemas secara sederhana yang dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat. Misalnya Sunan Giri bertugas menjelaskan siklus perhitungan kalender dan perubahan hari. Sunan Gunung Jati mengajarkan tata cara berdoa, membaca mantra dan pengobatan. Sunan Drajat mengajarkan tata cara membangun rumah. Sunan Kudus mengajarkan cara membuat keris dan kerajinan emas.

Hal penting yang perlu dicatat dalam sukses dakwah Wali Songo adalah corak sufistik dalam ajaran-ajaran mereka. Istilah “wali” itu sendiri sangat lekat dengan kaum sufi atau kajian tasawuf. Corak sufistik dalam hal ini dapat diperbandingkan dengan corak fikih yang serba “hitam-putih”. Ajaran sufi lebih terbuka, luwes dan adaptif dalam menyikapi keberadaan ajaran di luar Islam. Dakwah kultural semacam itu juga dilakukan oleh Sunan Drajat melalui tembang Jawa ciptaannya yang hingga kini masih digemari, yaitu Tembang Pangkur.

Sementara Sunan Bonang menghasilkan Suluk Sunan Bonang atau Primbon Sunan Bonang, yaitu catatan-catatan pendidikan yang dituangkan dalam bentuk prosa. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu, shalat, dan sebagainya. Walisongo dikenal sangat peka beradaptasi. Cara mereka menanamkan akidah dan syariat Islam sangat memperhatikan kondisi masyarakat setempat. Misalnya, kebiasaan berkumpul dan kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian keluarga tidak diharamkan, tapi sebaliknya acara tersebut diisi dengan pembacaan tahlil, doa, dan sedekah. Demikian juga dengan penggunaan istilah. Sunan Ampel yang dikenal sangat hati-hati, misalnya, menyebut shalat dengan ‘sembahyang’ yang berasal dari kata sembah dan hyang. Dia juga menamai tempat ibadah dengan langgar, yang mirip dengan kata sanggar. Bangunan masjid dan langgar pun dibuat bercorak Jawa dengan ciri khas genteng bertingkat-tingkat. Bahkan, di antara bangunan masjid tersebut memadukan corak bangunan Hindu, seperti Masjid Kudus yang dilengkapi dengan menara dan gapura bercorak Hindu. Selain itu, untuk mendidik calon-calon da’i, Walisongo mendirikan pesantren-pesantren, sebagai pusat pendidikan agama Islam.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pembagian Kerja Wali Songo dan Strategi Dakwah Wali Songo"

Posting Komentar