Tokoh-Tokoh Islam Indonesia Kontemporer yang akan kita bahasa kali ini adalah Gusdur dan Nurcholish Madjid.
- KH. Abdurrahman Wahid
Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999. Ia menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Ia lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil atau “Sang Penakluk”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai. Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), demikian pula kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syamsuri.
Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada 1957, setelah lulus SMP, ia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun yang seharusnya ditempuh selama empat tahun. Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya.
Pada 1963, Gus Dur menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, namun ia tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur kemudian melanjutkan belajar di Universitas Baghdad, Irak dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1970. Kemudian ia pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi ia kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui (tidak mu’adalah) di Belanda. Gus Dur lalu melanjutkan pendidikan ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia pada tahun 1971.
Reformasi NU
Pada tahun 1982 NU membetuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi tunggal. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini. Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai Ketua Umum PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah umum.
Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua Umum PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam persinggungan politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim termasuk juga kepada NU. Pada Juli 1998 Gus Dur menanggapi ide pembentukan partai politik sebagai wadah warga NU menyampaikan aspirasi politiknya. Partai tersebut diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pada tanggal 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan Gus Dur sebagai kandidat presidennya. Pemilu April 1999, PKB meraih suara 12% suara dengan PDIP memenangkan 33% suara. Pada 20 Oktober 1999, Sidang Umum MPR memilih presiden baru. Meskipun suara PDIP yang terbesar, namun karena suasana politik yang berkembang saat itu, mengantarkan Gus Dur terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4.
Langkah yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai Presiden adalah mereformasi militer dan mengeluarkan militer dari ruang sosial-politik. Sebelumnya ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) di samping bertugas sebagai lembaga pertahanan negara, ia juga diperbolehkan berkiprah di dunia politik, hal ini disebut dengan Dwi Fungsi ABRI. Pada tingkatan legislatif ABRI memiliki fraksi tersendiri dengan nama Fraksi TNI-POLRI. Pada era Gus Dur, TNI-POLRI tidak diperkenankan terlibat dalam politik praktis. TNI hanya bertugas sebagai lembaga pertahanan negara. Namun, hal ini juga tidak dilakukan secara sekaligus oleh Gus Dur. Gus Dur membuat perencanan paling tidak selama 6 tahun TNI-POLRI baru benar-benar lepas dari dunia politik.
Selama 6 tahun tersebut, secara gradual kesejahteraan TNI-POLRI ditingkatkan sampai pada tingkatan yang mapan sebagai pihak yang memiliki tugas berat, yaitu menjaga kedaulatan negara. Pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri.
Penghargaan Gus Dur
Pada 11 Agustus 2006, Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena ia dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.
Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan, yaitu:
- Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)
Baca juga: Tokoh-tokoh Dunia Islam Era Kontemporer👈
- Prof. Dr. Nurcholish Madjid
Nurcholish lahir pada 17 Maret 1939, di tengah gejolak perjuangan politik menuju kemerdekaan Indonesia, di Desa Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Desa ini memiliki dinamika keagamaan yang istimewa, tempat penghuninya meletakkan pendidikan pada posisi yang utama. Mayoritas penduduk Jombang adalah santri, dengan tradisi tarekat (sufisme) yang kuat dan secara otomatis menjadi bagian alami dari diri Nurcholish.
Orangtua Nurcholish datang dari lingkungan Nahdlatul Ulama dan Masyumi. Ibunda Nurcholish, Fathonah, dipilih menjadi istri ayahnya, Abdul Madjid, atas perintah Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Fathonah putri keluarga pengusaha yang taat beragama.
Abdul Madjid adalah petani dan guru, yang bersama istrinya kemudian mendirikan Madrasah Al-Wathaniah di Mojoanyar. Sang ayah adalah politisi Masyumi, yang jarang berada di daerah itu, meski tetap memegang tradisi NU secara kuat. Tradisi yang kosmopolit dan menghargai keragaman seperti itulah yang kelak akan mewarnai Paramadina, lembaga yang didirikannya. Kepribadian dan pikiran Nurcholish terbentuk pada masa remaja ketika dia sekolah di Pondok Modern Gontor. Pesantren ini sangat progresif dan modern, baik dalam metode pengajaran maupun gaya hidup para santrinya. Santri diperbolehkan main musik dan mengenakan celana, bukannya sarung. Kurikulum di Gontor mengkombinasikan kajian Islam dan sekular dengan metode pengajaran modern: pengantar bahasa Arab dan Inggris.
Selesai dari Gontor, Nurcholish pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pelajaran di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta (sekarang Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta). Dia memilih Fakultas Adab (sastra dan peradaban) sebagai tempat dia memperoleh gelar sarjana pada 1968. Nurcholish menulis skripsi berjudul: “Al Quran: Arab dalam Kata, Universal dalam Makna”.
Selama menjadi mahasiswa di IAIN hingga beberapa tahun kemudian, Nurcholish sering mendengar khutbah Jumat di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Khatib favoritnya adalah Buya Hamka, ulama sufi modern Indonesia, memenuhi kerinduannya akan tradisi tarekat di kampungnya. Melalui Hamka dia diperkenalkan pada gagasan Ibnu Taimiyah, yang kelak akan menjadi subjek disertasi doktornya di Universitas Chicago, Amerika Serikat:
“Ibn Taymiyya on Kalam and Falsafa: A Problem of Reason and Revelation in Islam”.
Pada 1963, Nurcholish mulai terlibat dalam kegiatan mahasiswa dan bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan empat tahun kemudian dia terpilih menjadi Ketua Umum untuk masa jabatan dua tahun. Dia menjadi ketua pertama yang memiliki latar belakang pendidikan Islam dan terpilih kembali untuk masa jabatan berikutnya pada 1969. Nurcholish juga menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Asia Tenggara 1967-1969, dan dengan itu dia mengenal pemimpin muda Islam Malaysia, Anwar Ibrahim, yang kemudian menjadi teman bertukar gagasan. Nurcholish juga Asisten Sekjen dan pendiri International Islamic Federation of Students Organizations 1968-1971 yang memberinya kesempatan bepergian ke luar negeri: ke Amerika Serikat, Mesir, Saudi Arabia, dan Suriah. Menurut Nurcholish, perjalanan ke Timur Tengah itu membuatnya yakin bahwa pembaruan drastis dalam pemikiran Islam sangat dibutuhkan, dan dia menyisihkan waktu untuk menulis ideologi Islam versinya sendiri.
Pada 1969, dia menelurkan booklet berjudul Nilainilai Dasar Perjuangan (NDP), yang dikenal pula
sebagai panduan orientasi ideologis anggota HMI dan juga diterima di kalangan intelektual muda Islam nonHMI. Pada 1965, terjadi perubahan besar dalam politik Indonesia, Soekarno jatuh dan digantikan Soeharto. Orde Baru membawa perbaikan ekonomi Indonesia. Namun, pada masa ini pula meningkat represi terhadap ekspresi politik, khususnya yang berbasis Islam. Di tengah situasi seperti itu, pada Januari 1970, Nurcholish meluncurkan makalah dengan judul “Keharusan Pembaharuan
Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang memicu perdebatan riuh di kalangan umat Islam. Kontroversi itu telah melejitkan Nurcholish menjadi tokoh publik. Namun, Nurcholish tetap menjaga diri dan menyisakan waktunya untuk kegiatan lain menyebarkan gagasannya.
Pada awal 1970-an Nurcholish juga menerbitkan artikel di beberapa harian Jakarta. Artikel-artikel itu banyak membahas soal strategi pembangunan ekonomi di bawah Orde Baru dan menunjukkan empati sosialnya yang besar kepada mereka yang miskin dan rentan. Artikel-artikel itu dibukukan 1993 di bawah judul “Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan”. Setelah mendapat gelar doktor dan kembali ke Indonesia pada 1985, banyak teman mendorongnya menyebarkan gagasan ke masyarakat Indonesia lebih luas.
Dari sinilah kemudian Paramadina didirikan. Demokratisasi merupakan tema penting dalam debat nasional sepanjang 1990-an. Pada era ini Nurcholish menjadi kontributor tetap di berbagai harian dan majalah, mendiskusikan berbagai tema dari iman, budaya hingga moral dalam politik Muslim kontemporer. Artikel pendek dan mudah dicerna ini, yang dibukukan dengan judul “Pintu-Pintu Menuju Tuhan” (1994) seperti ingin menjawab kritik bahwa tulisan Nurcholish terlalu akademis dan sulit bagi publik awam untuk memahaminya.
Pada waktu yang bersamaan, Paramadina menerbitkan buku lain Nurcholish, “Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah”. Buku ini berisi makalah Klub Kajian Agama (KAA) Paramadina sejak awal 1990-an, mendiskusikan berbagai subjek, termasuk neo-sufisme. Buku dengan judul hampir sama, “Islam: Doktrin dan Peradaban” (1992) menjadi bukunya yang paling diminati.
Merenungkan peradaban Islam kian mendalam memandu Nurcholish mencari landasan kerjasama antar-agama. Pada akhir 1992 dia kembali membuat pidato yang isinya diperdebatkan secara luas: “Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang”. Nurcholish berbicara tentang agama secara umum, tidak hanya Islam.
Dia juga bicara soal agama yang inklusif dan universal, serta menekankan pencarian kesamaan platform antar-agama. Melawan diam-diam batas keterbukaan politik Soeharto, Nurcholish juga terus terlibat dalam debat publik pada 1990-an, mendorong keterbukaan, dan kemungkinan kritik publik dalam pembetukan masyarakat demokratis.
Pada masa ini Nurcholish menulis sebuah artikel penting berjudul “Islamic Roots of Modern Pluralism, Indonesian Experience”.
Kumpulan tulisan Nurcholish yang berisi tanggapan terhadap meningkatnya polarisasi agama dalam politik Indonesia, juga tentang humanisme, keadilan dan hak asasi manusia terbit pada 1995 di bawah judul “Islam Agama Kemanusiaan”. Tak heran ketika badai demonstrasi mahasiswa melanda Indonesia pada 1997, menuntut mundurnya Soeharto, Nurcholish menjadi tempat orang untuk mencari panduan. Setelah Soeharto jatuh, Nurcholish ikut terlibat mendorong demokratisasi dengan antara lain menjadi Ketua Komite Pemberdayaan Pemilih (KPP) untuk pemilihan umum 1999. Sebuah era baru demokratisasi di Indonesia, salah satu buah perjuangan Nurcholish Madjid.
0 Response to "Tokoh-Tokoh Islam Indonesia Kontemporer (KH. Abdurrahman Wahid , Prof. Dr. Nurcholish Madjid)"
Posting Komentar