Konflik dalam cerita berupa pertentangan antara dua kekuatan (dua tokoh) karena adanya dua keinginan atau lebih yang bertentangan dan menguasai diri seseorang sehingga mempengaruhi tingkah laku.
Konflik dalam cerita dapat berupa konflik dengan diri sendiri, konflik dengan orang lain, dan konflik konflik dengan Tuhan/kekuatan gaib, atau konflik dengan kekuatan alam. Alur dalam cerita harus mengandung salah satu atau beberapa jenis konflik tersebut untuk membangun ceritanya.
Hendi : Hey … kamu berdua! Saya akan ngasih pelajaran!
Dani : Ada apa Hen …?
Hendi : Alaaah, pura-pura tidak tahu. Mentang-mentang kalian dapat ngerjain soal ulangan, kalian sombong, sedikit pun kalian tidak ngasih tahu!
Kiki : Kapan kamu minta jawaban? Saya lihat kamu dapat ngerjakan!
Hendi : Ah …, alasan!
Dani : Lantas, sekarang mau apa?
Hendi : Eh …, kamu nantang?!
Kiki : Alaaah …, kamu beraninya kalau ada bantuan!
Hendi : Tutup mulutmu, (sambil tangannya memberi isyarat kepada temannya agar Dani mulai dikerjain oleh gerombolannya). Hendi dan gerombolannya mengeroyok
Dani : Sebentar … se … bentar (sambil menahan pukulan).
Dari belakang terdengar suara yang ternyata Pak guru Geografi akan melerai perkelahian itu.
Pak Guru : Heee …, berhenti. Heh, sudah hentikan! (berteriak).
Anton - Pemimpin redaksi majalah dinding
Rini - Sekretaris redaksi
Wilar - Wakil pemimpin redaksi
Trisno - Karikaturis
Kardi - Pelajar, Eseist majalah dinding
Cerita :
Anton tampak berwajah kusut hari minggu itu, segera lari ke sekolah sesudah mendengar berita dari Wilar bahwa majalah dinding dibreidel oleh Kepala Sekolah gara-gara Trisno karikaturis, mengejek Pak Kusno, Guru Karate.
Anton : Kardi
Kardi : Ya!
Anton : Kau ada waktu nanti sore?
Kardi : Ada apa, sih?
Anton : Aku perlu bantuanmu. Menyusun surat protes itu.
Rini : Kurasa tak ada gunanya, kita protes. Kita sudah kalah. Bagi kita, Kepala Sekolah kita bukan guru lagi. Bukan pendidik. Ia berlagak penguasa.
Kardi : Itu tafsiranmu, Rin. Menurut dia, tindakannya mendidik.
Anton : Mendidik, tetapi mendidik pemberontak. Bukan mendidik anak-anaknya sendiri.
Kardi : Masa begitu?
Anton : Kalau mendidik anaknya sendiri, kan tidak begitu caranya.
Kardi : Tentu saja tidak. Ia bertindak, dengan caranya sendiri.
Rini : Sudahlah. Kalau kalian menurut aku, sebaiknya kita protes diam. Kita mogok. Nanti kalau sekolah kita tutup tahun, kita semua diam. Mau apa Pak Kepala Sekolah itu, kalau kita diam. Tenaga inti masuk staf redaksi semua.
Anton : Tapi masih ada satu bahaya.
Rini : Bahaya?
Kardi : Nasib Trisno, karikaturis kita itu?
Anton : Bisa jadi dia akan celaka.
Rini : Lalu?
Anton : Kita harus selesaikan masalah ini.
Rini : Caranya?
Anton : Kita harus buka front terbuka.
Kardi : Itu tidak taktis, Bung!
Anton : Habis kalau kita main gerilya kita kalah. Dia masih bisa main tangan besi lewat wali kelas.
Kardi : Baik. Tapi front terbuka juga berbahaya.
Rini : Orang luar bisa tahu. Sekolah cemar.
Kardi : Betul.
Anton : Apakah sudah tak ada jalan keluar lagi? Kita mati kutu?
Kardi : Ada. Tapi jangan grusa-grusu. Kita harus ingat, ini bukan perlawanan melawan musuh.
Kita berhadapan dengan orang tua kita sendiri, di rumah sendiri. Jadi jangan asal membakar rumah, kalau marah.
Anton : Baik filsuf! Apa rencanamu.
(Trisno masuk, nafasnya terengah-engah. Peluhnya berlelehan).
Rini : Engkau dari mana Tris?
Anton : Dari rumah Pak Kepala Sekolah?
Kardi : Dari rumah Pak Kepala Sekolah kita? Kau dimarahi?
Trisno : Huuuhh. Disemprot ludah pagi hari.
Rini : Mau apa kau ke sana? Kan tak dipanggil?
Anton : Engkau goblok Tris. Masa pagi-pagi ke sana.
Kardi : Sebaiknya engkau tidak ke sana sebelum berembug dengan kita.
Rini : Haaah. Individualisme itu coba dikurangi. Kita kan merupakan tim.
Anton : Engkau memang selalu begitu tiap kali.
Trisno : Belum tahu sudah nyemprot.
Kardi : Pak Kepala ke rumahmu?
Trisno : Ya. Terus aku mau rembugan bagaimana dengan kalian? Belum bisa bernafas sudah dicekik. Kok suruh rembugan dulu.
Rini : Ibumu tahu?
Trisno : Untung mereka ke gereja pagi.
Anton : Terus?
Trisno : Pokoknya aku didesak, ide itu ide siapa. Sudah dapat izin dari kau apa belum?
Anton : Jawabmu?
Trisno : Aku katakan itu ide itu ideee …..
Anton : Ide Anton …..
Trisno : Ide Albertus Trisno sang pelukis! Dengan?
Rini : Tapi, kau bilang sudah ada persetujuan dari pemimpin redaksi?
Trisno : Tidak, Rin.
Anton : Kau bilang apa?
Trisno : Aku bilang bahwa tanpa sepengetahuan Anton, aku pasang karikatur itu. Sepenuhnya, tanggung jawab saya. Dengar?
Kardi : Edaaan. Pahlawan ini benar?
Rini : Ooooo, hebat kau Tris, bahagialah Yayuk yang punya kekasih macam kau.
Trisno : Ah, Rin, nanti aku tidak bisa tidur kau bilang Yayuk pacarku.
Anton : Kenapa kau bilang begitu. Kau menghina aku, Tris? Aku yang suruh engkau melukis itu. Aku penanggung jawabnya. Akulah yang mesti digantung ….. bukan kau.
Kardi : Lho. Lho, sabar, sabar, sabar.
Anton : Ayo, kau mesti ralat pernyataan itu.
Trisno : Begini Ton, maksudku, agar kau …..
Anton : Tidak ….. aku tidak butuh perlindunganmu. Aku mesti digantung, bukan kau.
Trisno : Begini Ton, maksudku, bahwa aku telah …..
Anton : Sudah! Aku tahu, kau berlagak pahlawan, agar orang-orang menaruh perhatian padamu, sehingga dengan demikian kau …..
Rini : Anton! Ini apa. Ini apa?
Kardi : Anton. Sabar. Kau mau bunuh diri apa bagaimana. Mana sedang gawat malah bertengkar sendiri.
Rini : Ayo dong Laaar, mana dia. Kau ini ngejek!
Anton : Kau bertemu dia, pagi ini?
Wilar : Dia mau!
Anton : Mau.
Rini : Mau?
Wilar : Jelas. Malah dia berkata begini. Aku wali kelas kalian. Aku ikut bertanggung jawab atas perbuatan kalian terhadap Pak Kusno itu. Tapi, kalian tak boleh bertindak sendiri. Diam saja.
Aku yang akan maju ke Bapak Kepala Sekolah. Aku akan menjelaskan, bahwa Pak Kusno memang kurang beres. Tapi kalau kalian berbuat dan bertindak sendiri-sendiri main coratcoret, atau membikin onar, kalian akan kulaporkan ke Polisi …..
Rini : Pak Lukas memang guru sejati. Mau melibatkan diri dengan problem anak anaknya. Dia sungguh seperti bapakku sendiri.
Anton : Dia seorang bapak yang melindungi, sifatnya lembut seperti seorang ibu …..
Trisno : Bagaimana kalau dia kita juluki, Pak Lukas sang penyelamat…..
Semua : Setujuuuuuuu!
Kardi : (Termenung)
Rini : Ada apa filsuf?
Kardi : Sekarang sampailah kesimpulan tentang renungan-renunganku selama ini …..
Anton : Waaahhhh!
Rini : Renungan apa Di?
Trisno : Renungan apa lagi …..?
Kardi : Bahwa….. bahwa kreativitas, ternyata ….. ternyata, membutuhkan perlindungan.
Bakdi Sumanto. Majalah Semangat.
Konflik dalam cerita dapat berupa konflik dengan diri sendiri, konflik dengan orang lain, dan konflik konflik dengan Tuhan/kekuatan gaib, atau konflik dengan kekuatan alam. Alur dalam cerita harus mengandung salah satu atau beberapa jenis konflik tersebut untuk membangun ceritanya.
Contoh Teks Drama dengan Konflik Singkat 2 Orang
Di halaman sekolah yang sudah mulai sepi. Dani dan Kiki kaget dan bengongHendi : Hey … kamu berdua! Saya akan ngasih pelajaran!
Dani : Ada apa Hen …?
Hendi : Alaaah, pura-pura tidak tahu. Mentang-mentang kalian dapat ngerjain soal ulangan, kalian sombong, sedikit pun kalian tidak ngasih tahu!
Kiki : Kapan kamu minta jawaban? Saya lihat kamu dapat ngerjakan!
Hendi : Ah …, alasan!
Dani : Lantas, sekarang mau apa?
Hendi : Eh …, kamu nantang?!
Kiki : Alaaah …, kamu beraninya kalau ada bantuan!
Hendi : Tutup mulutmu, (sambil tangannya memberi isyarat kepada temannya agar Dani mulai dikerjain oleh gerombolannya). Hendi dan gerombolannya mengeroyok
Dani : Sebentar … se … bentar (sambil menahan pukulan).
Dari belakang terdengar suara yang ternyata Pak guru Geografi akan melerai perkelahian itu.
Pak Guru : Heee …, berhenti. Heh, sudah hentikan! (berteriak).
Contoh Teks Drama Konflik 5 Orang
Pelaku :Anton - Pemimpin redaksi majalah dinding
Rini - Sekretaris redaksi
Wilar - Wakil pemimpin redaksi
Trisno - Karikaturis
Kardi - Pelajar, Eseist majalah dinding
Cerita :
Anton tampak berwajah kusut hari minggu itu, segera lari ke sekolah sesudah mendengar berita dari Wilar bahwa majalah dinding dibreidel oleh Kepala Sekolah gara-gara Trisno karikaturis, mengejek Pak Kusno, Guru Karate.
Anton : Kardi
Kardi : Ya!
Anton : Kau ada waktu nanti sore?
Kardi : Ada apa, sih?
Anton : Aku perlu bantuanmu. Menyusun surat protes itu.
Rini : Kurasa tak ada gunanya, kita protes. Kita sudah kalah. Bagi kita, Kepala Sekolah kita bukan guru lagi. Bukan pendidik. Ia berlagak penguasa.
Kardi : Itu tafsiranmu, Rin. Menurut dia, tindakannya mendidik.
Anton : Mendidik, tetapi mendidik pemberontak. Bukan mendidik anak-anaknya sendiri.
Kardi : Masa begitu?
Anton : Kalau mendidik anaknya sendiri, kan tidak begitu caranya.
Kardi : Tentu saja tidak. Ia bertindak, dengan caranya sendiri.
Rini : Sudahlah. Kalau kalian menurut aku, sebaiknya kita protes diam. Kita mogok. Nanti kalau sekolah kita tutup tahun, kita semua diam. Mau apa Pak Kepala Sekolah itu, kalau kita diam. Tenaga inti masuk staf redaksi semua.
Anton : Tapi masih ada satu bahaya.
Rini : Bahaya?
Kardi : Nasib Trisno, karikaturis kita itu?
Anton : Bisa jadi dia akan celaka.
Rini : Lalu?
Anton : Kita harus selesaikan masalah ini.
Rini : Caranya?
Anton : Kita harus buka front terbuka.
Kardi : Itu tidak taktis, Bung!
Anton : Habis kalau kita main gerilya kita kalah. Dia masih bisa main tangan besi lewat wali kelas.
Kardi : Baik. Tapi front terbuka juga berbahaya.
Rini : Orang luar bisa tahu. Sekolah cemar.
Kardi : Betul.
Anton : Apakah sudah tak ada jalan keluar lagi? Kita mati kutu?
Kardi : Ada. Tapi jangan grusa-grusu. Kita harus ingat, ini bukan perlawanan melawan musuh.
Kita berhadapan dengan orang tua kita sendiri, di rumah sendiri. Jadi jangan asal membakar rumah, kalau marah.
Anton : Baik filsuf! Apa rencanamu.
(Trisno masuk, nafasnya terengah-engah. Peluhnya berlelehan).
Rini : Engkau dari mana Tris?
Anton : Dari rumah Pak Kepala Sekolah?
Kardi : Dari rumah Pak Kepala Sekolah kita? Kau dimarahi?
Trisno : Huuuhh. Disemprot ludah pagi hari.
Rini : Mau apa kau ke sana? Kan tak dipanggil?
Anton : Engkau goblok Tris. Masa pagi-pagi ke sana.
Kardi : Sebaiknya engkau tidak ke sana sebelum berembug dengan kita.
Rini : Haaah. Individualisme itu coba dikurangi. Kita kan merupakan tim.
Anton : Engkau memang selalu begitu tiap kali.
Trisno : Belum tahu sudah nyemprot.
Kardi : Pak Kepala ke rumahmu?
Trisno : Ya. Terus aku mau rembugan bagaimana dengan kalian? Belum bisa bernafas sudah dicekik. Kok suruh rembugan dulu.
Rini : Ibumu tahu?
Trisno : Untung mereka ke gereja pagi.
Anton : Terus?
Trisno : Pokoknya aku didesak, ide itu ide siapa. Sudah dapat izin dari kau apa belum?
Anton : Jawabmu?
Trisno : Aku katakan itu ide itu ideee …..
Anton : Ide Anton …..
Trisno : Ide Albertus Trisno sang pelukis! Dengan?
Rini : Tapi, kau bilang sudah ada persetujuan dari pemimpin redaksi?
Trisno : Tidak, Rin.
Anton : Kau bilang apa?
Trisno : Aku bilang bahwa tanpa sepengetahuan Anton, aku pasang karikatur itu. Sepenuhnya, tanggung jawab saya. Dengar?
Kardi : Edaaan. Pahlawan ini benar?
Rini : Ooooo, hebat kau Tris, bahagialah Yayuk yang punya kekasih macam kau.
Trisno : Ah, Rin, nanti aku tidak bisa tidur kau bilang Yayuk pacarku.
Anton : Kenapa kau bilang begitu. Kau menghina aku, Tris? Aku yang suruh engkau melukis itu. Aku penanggung jawabnya. Akulah yang mesti digantung ….. bukan kau.
Kardi : Lho. Lho, sabar, sabar, sabar.
Anton : Ayo, kau mesti ralat pernyataan itu.
Trisno : Begini Ton, maksudku, agar kau …..
Anton : Tidak ….. aku tidak butuh perlindunganmu. Aku mesti digantung, bukan kau.
Trisno : Begini Ton, maksudku, bahwa aku telah …..
Anton : Sudah! Aku tahu, kau berlagak pahlawan, agar orang-orang menaruh perhatian padamu, sehingga dengan demikian kau …..
Rini : Anton! Ini apa. Ini apa?
Kardi : Anton. Sabar. Kau mau bunuh diri apa bagaimana. Mana sedang gawat malah bertengkar sendiri.
Rini : Ayo dong Laaar, mana dia. Kau ini ngejek!
Anton : Kau bertemu dia, pagi ini?
Wilar : Dia mau!
Anton : Mau.
Rini : Mau?
Wilar : Jelas. Malah dia berkata begini. Aku wali kelas kalian. Aku ikut bertanggung jawab atas perbuatan kalian terhadap Pak Kusno itu. Tapi, kalian tak boleh bertindak sendiri. Diam saja.
Aku yang akan maju ke Bapak Kepala Sekolah. Aku akan menjelaskan, bahwa Pak Kusno memang kurang beres. Tapi kalau kalian berbuat dan bertindak sendiri-sendiri main coratcoret, atau membikin onar, kalian akan kulaporkan ke Polisi …..
Rini : Pak Lukas memang guru sejati. Mau melibatkan diri dengan problem anak anaknya. Dia sungguh seperti bapakku sendiri.
Anton : Dia seorang bapak yang melindungi, sifatnya lembut seperti seorang ibu …..
Trisno : Bagaimana kalau dia kita juluki, Pak Lukas sang penyelamat…..
Semua : Setujuuuuuuu!
Kardi : (Termenung)
Rini : Ada apa filsuf?
Kardi : Sekarang sampailah kesimpulan tentang renungan-renunganku selama ini …..
Anton : Waaahhhh!
Rini : Renungan apa Di?
Trisno : Renungan apa lagi …..?
Kardi : Bahwa….. bahwa kreativitas, ternyata ….. ternyata, membutuhkan perlindungan.
Bakdi Sumanto. Majalah Semangat.
0 Response to "Contoh Teks Drama Konflik Singkat 2 Orang dan Contoh Teks Drama Konflik 5 Orang"
Posting Komentar