Riwayat & Silsilah Sunan Giri serta Kepribadian dan Perjuangan Sunan Giri dalam Berdakwah

Riwayat dan Silsilah Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Syekh Maulana Ishaq, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, yang kini bernama Aceh. Ibunya bernama Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan, Jawa Timur, yang bernama Prabu Menak Sembuyu.
Riwayat dan Silsilah Sunan Giri
Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishaq tertarik untuk mengunjungi Jawa Timur karena ingin menyebarkan agama Islam. Setelah bertemu dengan Sunan Ampel yang masih sepupunya, maka ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan, sebelah selatan Banyuwangi, Jawa Timur. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.

Akhirnya, sang raja mengumumkan sebuah sayembara. "Barang siapayang berhasil mengobati Sang Dewi, jika seorang laki-laki maka ia akan dijodohkan dengannya. Jika perempuan maka ia akan dijadikan saudara angkat Sang Dewi" katanya Tapi, tidak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, Sang Prabu mengutus Bajul Sengara mencari pertapa sakti. Dalam pencarian itu, Sang Patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti yang bernama Resi Kandayana. Dan, resi inilah yang memberi informasi tentang Syekh Maulana Ishaq.

Rupanya, Maulana Ishaq mau mengobati Dewi Sekardadu, jika Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishaq pun dipenuhi. Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu Dewi Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishaq. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak menjadi seorang muslim dengan sepenuh hati. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishaq berhasil meng-Islamkan sebagian besar rakyatnya. Lalu ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishaq.

Pada akhirnya, Maulana Ishaq meninggalkan Blambangan dan kembali ke Pasai, Aceh, karena merasa jiwanya terancam. Sebelum berangkat ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu yang sedang mengandung tujuh bulan agar kelak anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishaq dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.

Selanjutnya peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi tersebut kemudian diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemiliki kapal tersebut. Maka, bayi yang kelak dikenal sebagai Sunan Giri dijadikan anak angkat Nyai Ageng Pinatih, seorang saudagar kaya raya dari Gresik. Sejak saat itu, bayi laki laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkan oleh Nyi Ageng Pinatih. Joko Samudro yang menginjak usia tujuh tahun dititipkan di padepokan Sunan Ampel di Surabaya untuk belajar agama Islam. Lalu, anak itu diberi gelar oleh Sunan Ampel dengan sebutan "Maulana Ainul Yaqin" karena kecerdasannya.

Kepribadian Sunan Giri

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.

Pada suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan shalat tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberapa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata.

Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan Ampel memberi ikatan pada sarung murid itu. Esok harinya, diketahuilah bahwa ikatan sarung tersebut adalah milik Joko
Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra. Kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samudra.

Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi di rumah Nyai Ageng Pinatih. Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada wali besar yang dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.

Setelah bertahun tahun belajar agama di padepokan, Joko Samudro dan putra Sunan Ampel, Raden Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Makkah. Tapi, mereka harus singgah terlebih dahulu untuk menemui Syaikh Maulana Ishaq, yang sesungguhnya ayah dari Joko Samudro atau Raden Paku.

Ternyata, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Akhirnya, ayah dan anak itu pun bertemu. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai kepada Syaikh Maulana Ishaq, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah, Maulana Ishaq membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.

Perjuangan Sunan Giri dalam berdakwah

Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.

Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda. Tapi kali ini tidak. Sesudah kapal merapat di pelabuhan Banjar, Raden paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.

Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku karena takut dimurkai oleh Nyai Ageng Pinatih. Namun, Raden Paku mengatakan bahwa penduduk Banjar sedang dilanda musibah kekeringan dan kurang pangan, sedangkan ibunya sudah banyak mengambil keuntungan dari mereka. Inilah saatnya untuk mengeluarkan zakat dari harta ibunya untuk membersihkan diri. Untuk membuat kapal mereka tidak oleng dihantam badai karena tidak adanya muatan, Raden Paku mengisi karung-karung dengan batu dan pasir.

Memang benar, mereka dapat berlayar hingga di pantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih. Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal, bahkan hendak membuang karung-karung tersebut.

Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karungkarung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar, kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar. Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di Kepulauan Nusantara.

Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya. Maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.

Mulailah Raden Paku bertafakur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas. Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai. Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung. Atas dukungan isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh nusantara.

Sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari sunan-sunan yang ada. Diatas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedaton (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu dan Ternate.

Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Di samping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas. Sunan Giri dimakamkam di sebuah bukit di Dusun Kedhaton, Desa Giri Gajah, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Kompleks makam ini berupa dataran bertingkat tiga dengan bagian belakang paling tinggi. Di kanan kiri pintu gerbangnya terdapat hiasan naga yang bermakna tahun 1428 Saka atau 1506 Masehi.

Contoh Nilai Positif Sikap Sunan Giri

Dalam rangkaian kisah Sunan Giri terdapat hal-hal yang dapat kita tiru, yaitu

  1. Raden Paku senantiasa bersifat jujur dan berani, saat ditanya mengenai ikatan di sarungnya oleh Sunan Ampel, beliau tanpa ragu menjawab tanpa ada rasa takut. Saat berdagang juga ia selalu melaporkan hasil dagangannya kepada Nyai Ageng Pinatih dengan jujur.
  2. Suka menolong kepada sesama walalupun harus berkorban materi yang banyak.
  3. Taat kepada perintah ayahnya untuk membuka pesantren sesuai dengan tanah yang diberikan kepadanya, serta menaati perintah gurunya, Sunan Ampel.
  4. Dalam memutuskan sesuatu diawali dengan berpikir/bertafakur selanjutnya memohon ijin kepada orang tua. Seperti halnya ketika beliau hendak mendirikan pesantren.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Riwayat & Silsilah Sunan Giri serta Kepribadian dan Perjuangan Sunan Giri dalam Berdakwah"

Posting Komentar