Riwayat dan Silsilah Sunan Gunung Jati | Kepribadian, Dakwah, dan Nilai Positif Sunan Gunung Jati

Riwayat dan Silsilah Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450 M. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.

Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang dan Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana/Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. Ia dimakamkan bersebelahan dengan putranya yaitu Sunan Gunung Jati di Komplek Astana Gunung Sembung (Cirebon).

Kepribadian Sunan Gunung Jati

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecenderungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Datuk Kahfi ia meneruskan ke Timur Tengah.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuana membangun kota Cirebon, ia wafat dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan membangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu.

Memasuki usia dewasa sekitar di antara tahun 1470-1480, ia menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini, ia mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Perjuangan Sunan Gunung Jati dalam berdakwah

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati. Sedangkan Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati adalah makam dekat Sunan Gunung Jati yang ada tulisan Tubagus Pasai adalah Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut Lidah Orang Portugis.

Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda'im datang ke negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda'im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda'im minta diizinkan tinggal di Pasambangan atau Gunung Jati.

Syarifah Muda'im dan puteranya Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Lahfi. Sehingga kemudian hari Syarif Hidayatullah terkenal sebagai Sunan Gunung Jati. Tibalah saat yang ditentukan, pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479 karena usia lanjut pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan yaitu orang yang dijunjung tinggi.

Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tetapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh Adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan puteri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinannya inilah kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering bermusyawarah dengan anggota para wali lainnya di masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya masjid Demak.

Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memploklamirkan diri sebagai raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.

Pada tahun 1480 Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau isteri Sunan Gunung Jati. Dari pembangunan mesjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan umat. Selesai membangun mesjid, diteruskan dengan membangun jalan raya yang menhubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam diseluruh tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin memperluas kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Ada salah seorang pejuang Malaka yang ikut ke tanah jawa yaitu Fatahillah. Ia bermaksud meneruskan perjuangannya di tanah Jawa. Dan dimasa Sultan Trenggana ia diangkat menjadi panglima perang.

Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya.

Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putera Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Sebakingking. Dikemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.

Kesultanan Pakungwati menjalin hubungan baik dengan kekaisaran China, bahkan Sunan Gunung Jati menikah dengan puteri ong Tien. Pernikahan antara puteri Ong Tien dengan Sunan Gunung Jati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati di Cirebon janganlah merasa heran disana banyak ornamen Cina dan nuansa Cina lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari Cina.

Keberhasilan Sunan Gunung Jati menegakkan kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten, memberikan tidak saja keleluasaan dakwah Islam di bumi Sunda, melainkan telah menjadikan keraton sebagai pusat kesenian dan kebudayaan yang bernuansa agama sehingga menjadikan gerakan dakwah Islam dengan cepat meluas hingga ke seluruh pelosok wilayah Pasundan. Dan, dengan semakin menguatnya kekuasaan Keraton Cirebon dan Banten, yang gencar menyebarkan dakwah Islam, sisa-sisa kekuasaan Raja Sunda semakin lama semakin lemah, di mana pada era Sultan Maulana Yusuf, cucu Sunan Gunung Jati, menaiki takhta Banten, dilakukan penuntasan penaklukan atas sisa-sisa kekuasaan Kerajaan Pajajaran pada tahun 1575 Masehi.

Demikianlah, melalui Keraton Cirebon dan Banten, berbagai gerakan dakwah melalui pengembangan seni dan budaya dilakukan secara persuasif dan sistematis, di mana unsur-unsur Hindhu-Budha lama tidak dihilangkan, melainkan dipadukan secara harmonis dengan ajaran Islam, yang menjadikan Islam dianut oleh hampir seluruh penduduk bumi Pasundan.
Makam Sunan Gunung Jati - Kepribadian, Dakwah, dan Nilai Positif Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati meninggal tahun 1568 M pada usia 120 tahun dan dimakamkan di Bukit Gunung Jati, Cirebon.

Contoh Nilai Positif Sunan Gunung Jati yang Dapat diterapkan dalam Kehidupan Sehari-Hari

Dari kisah yang tersaji dari kehidupan Sunan Gunung Jati, dapat kita ambil nilainilai positif sebagai berikut:

  • Sunan Gunung Jati tidak hanya menguasai ilmu agama dalam berdakwah, tetapi juga menguasai ilmu politik atau kenegaraan, bahkan ilmu pengobatan, kesemuanya dipergunakan oleh beliau sebagai metode untuk melancarkan dakwah Islam.
  • Ketika mengalami masalah di luar batas pengetahuan manusia, saat Sunan Gunung Jati ditanya mengenai mana putri kaisar yang hamil, maka langkah yang diambil adalah bermunajat kepada Allah untuk mendapatkan jawaban.
  • Menghargai penganut agama lain serta bangsa lain, seperti halnya penganut Hindhu dan Budha ataupun bangsa Cina. Karena sebagai seorang muslim, sudah sepantasnya kita menghargai orang lain walalupun berbeda bangsa dan agama.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Riwayat dan Silsilah Sunan Gunung Jati | Kepribadian, Dakwah, dan Nilai Positif Sunan Gunung Jati"

Posting Komentar