3 Alur dalam Novel, Penokohan dan Latar dalam Novel, Contoh Kutipan Novel dan Soalnya

3 Alur dalam Novel

Karya novel dibangun oleh beberapa unsur intrinsik. Unsur intrinsik tersebut, antara lain alur cerita, pelaku/penokohan, dan latar kejadian atau peristiwa. Alur merupakan urutan kejadian dalam cerita novel. Alur terbagi dalam tiga jenis, yaitu.
1. alur maju (progresif), yaitu urutan kejadian mengarah ke masa depan,
2. alur mundur (regresif/flash back), yaitu urutan kejadian mengarah ke masa lalu,
3. alur campuran, yaitu alur/urutan kejadian yang merupakan gabungan dua macam alur di atas. Ada alur maju dan ada alur mundur.

Penokohan dan Latar dalam Novel

Unsur pelaku/penokohan merupakan tokoh yang menjadi pelaku dalam cerita novel. Pelaku atau tokoh tersebut mempunyai karakterisasi masing-masing. Ada yang perwatakannya pemarah, tegas, pemalu dan sebagainya.

Latar dalam novel memiliki tiga kategori, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.

Contoh Kutipan Novel

Bacalah kutipan novel berikut!
Hampir empat tahun lamanya Kenanga menempuh program S-2 di Yogyakarta. Sangat terlambat dibanding jangka waktu yang wajar. Bisa dibayangkan seperti apa wajah Profesor Rahyuda yang begitu meyakini kapasitas intelektual Kenanga. Meski lulus dengan nilai meyakinkan, Kenanga merasa datar. Perasaannya hampa.
Kenanga telah mengirimkan kabar kepulangannya ke Bali dan berharap keluarganya datang menjemput di Bandara Ngurah Rai. Namun, betapa terkejutnya ia tatkala orang pertama yang dikenalnya setelah turun dari pesawat adalah Bhuana. Kenanga benar-benar jengkel. Perjalanan dari bandara ke rumahnya jadi terasa begitu panjang dan menyiksa.
Berkali-kali Bhuana coba mencuri pandang kepada Kenanga. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. Bhuana sibuk mengatasi perasaan bersalahnya yang kembali berkecambuk dengan dahsyat. Ingin sekali ia menemukan jalan untuk menebus segala bentuk malapetaka yang terlajur dibuatnya. S2 Kenanga baru selesai hampir empat tahun lamanya. Bhuana tahu betul kemampuan Kenanga. Kalau Kenanga sampai terlambat menyelesaikan studi, tentu itu akibat ulahnya yang di luar batas dulu. Tetapi apa persisnya penyebab keterlambatan itu, masih gelap bagi Bhuana. Lelaki itu hanya samar-samar merasa ada sesuatu yang tak ingin diungkapkan Kenanga kepada siapa pun juga.
“Kencana.... Aji..... Ibu....
Sesampainya di rumah, Kenanga langsung menghambur kepada orangorang tercinta yang telah sekian lama menantikan kepulangannya dari rantau.
Kristal cair menderas di kedua pipinya yang mulai memahatkan jejak kematangan usia seorang perempuan.
“Kenanga, anakku, kautampak makin dewasa,” sambut ibunya dengan pelukan dan bola mata berkaca-kaca.
Kegembiraan Kenanga tumpah, seakan air bah yang membuncah dari pintu dam yang pecah diterjang amuk gelora kerinduan. Namun, sepatah rasa sesal masih bertahan di tepi hujan dan cahaya kebahagiaan yang membasuh hati Kenanga. Pertemuannya dengan Bhuana seperti firasat kematian yang menggelebat dalam riang suasana pesta. Kenapa justru laki-laki jahanam itu yang pertama kali menyuguhkan wajahnya? Kenapa bukan wajah Kencana, Ibu ataupun Aji yang menyongsongku seteleh bertahun-tahun lamanya aku menghilang demi sebuah rahasia besar? Sekilas Kenanga dapat merasakan tatapan Bhuana seolah menembus ulu hatinya. Gerangan apakah kiranya kini yang bersemayam di benak laki-laki itu? Penyesalan? Kemenangan?
Pedulikah dia pada apa yang terjadi dengan tubuhku? Pada nasib segumpal daging kehidupan yang ditanamnya dalam rahimku? Berlarik-larik kecamuk pertanyaan dan penasaran menggenangi pikiran Kenanga.
“Mbok tega sekali, tidak mau datang pada upacara perkawinan tiang.” rajuk Kencana, sambil terus menciumi pipi Kenanga.
“Tiang tidak bisa, Kencana. Tugas tiang begitu banyak dan tak mungkin ditinggalkan,” kata Kenanga berpura-pura tak menyadari sorot tajam mata ayahnya.
“Tapi mbok kan mestinya...”
“Kencana,” potong ayahnya berwibawa, “Studi S-2 itu berat. Perlu konsentrasi. Kuliahmu tidak selesai. Jadi, kau tidak tahu betapa sulit yang namanya membuat tesis itu.”
Kenanga menangkap nada pengertian dalam kata-kata ayahnya. Lelaki itu kini tampak renta. Pandangannya seolah menyelimuti Kenanga dengan hangat kebijaksanaan dan perlindungan.
“Terima kasih, Aji,” bisik Kenanga saat tiba gilirannya memeluk ayahnya.
“Tiang tahu kesulitanmu, Nak. Sangat tahu,” balas laki-laki itu dalam suara yang hampir-hampir tak terdengar.
Kenanga mencium aroma keprihatinan yang mendalam dari cara ayahnya mengucapkan kalimat sederhana itu. Tentu ayahnya berpikir bahwa Kenanga memang bukannya tidak bisa menghadiri perkawinan adiknya, tetapi tak sanggup. Aji tahu betul Kenanga tidak pernah dekat dengan laki-laki mana pun yang sebaya usianya, kecuali Bhuana. Mungkin juga Aji pernah mendengar selentingan kabar burung yang biasa ditiupkan oleh orang-orang griya yang kurang kerjaan. Biang gosip macam Biang Logaya, misalnya, bisa saja mengarang berbagai cerita seru dan menjajakannya sebagai berita yang tak perlu dipersoalkan kebernarannya. Bisa saja perempuan itu berkeliling dari rumah ke rumah di lingkungan griya dengan mulut berbusa-busa menebar bual:

“Sial sekali nasib Kenanga. Dia tidak bisa menerima perkawinan Kencana. Sudah dilangkahi, eh suami Kencana orangnya ganteng dan gagah sekali.
Dokter, lagi. Jelas saja hatinya sakit. Cemburu dia. Tiang tahu perasaannya, tiang juga perempuan. Apalagi Kenanga kan aslinya naksir berat sama suami Kencana. Cuma tidak ditanggapi. Istilahnya, bertepuk sebelah tangan. Makanya dia dendam betul. Sampai tidak mau datang ke upacara perkawinan adiknya sendiri. Salahnya sendiri juga, habis Kenanga aneh begitu. Semua orang tahu dia ada main dengan Rahyuda. Itu, perjaka karatan dari Griya Kesiman. Ya, mana mau dokter ganteng itu dengan dia, biarpun seribu kali lebih pintar dibanding adiknya. Lalu, minggatlah dia ke Yogya. Katanya sekolah. Sekolah apa? Sudah jadi dosen kok sekolah. Cari-cari alasan saja. Aslinya dia patah hati. Namanya juga perasaan perempuan. Tiang paham betul itu. Istilahnya, frustasi, begitu. Kasihan sekali.”
Frustasi? Perasaan perempuan? Kenanga tersenyum sendiri teringat mulut Biang Logaya yang selalu monyong dan mencang-mencong kalau sudah asyik bergosip. Tahu apa mereka semua tentang dirinya? Sampai di mana mereka mampu mendekati jejak-jejak kebenaran yang tercecer di sepanjang jalan hidupnya? Orang lain, bahkan keluarganya sendiri, paling jauh hanya bisa menduga-duga. Beberapa mungkin yakin pada gambar dan prasangka yang mereka karang sendiri. Tapi, tak lebih dari itu. Tidak lebih.
Sumber: Kenanga karya Oka Rusmini, Grasindo, 2003: 60 – 63

Soal dari Kutipan Novel diatas

1. Unsur intrinsik apa saja yang membangun sebuah novel?
2. Tema apa yang diangkat dalam novel tersebut?
3. Siapa saja tokoh dalam kutipan novel di atas?
4. Bagaimana perwatakan setiap tokoh tersebut?
5. Apa saja istilah dari bahasa Bali yang digunakan dalam kutipan novel di atas?
6. Alur apa yang digunakan dalam kutipan novel di atas ?
7. Bagaimana latar yang mendasari cerita novel tersebut ?

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "3 Alur dalam Novel, Penokohan dan Latar dalam Novel, Contoh Kutipan Novel dan Soalnya"

Posting Komentar