Contoh Kutipan Novel 1
Ulang Tahun Paling BurukHarry keluar lewat pintu belakang. Cuaca amat cerah.
Dia menyeberangi halaman mengenyakkan diri di bangku kebun dan bernyanyi pelan, “Happy birthday to me...
Happy birthday to me....”
Tak ada kartu, tak ada hadiah, dan dia akan melewatkan malam ini dengan berpura-pura bahwa dia tak ada. Dia memandang sedih ke pagar tanaman. Belum pernah dia merasa kesepian seperti itu. Lebih dari segalanya di Hogwarts, bahkan lebih daripada bermain Quidditch, dia merindukan sahabat-sahabatnya. Ron Weasley dan Hermione Granger. Meskipun demikian, mereka rupanya sama sekali tidak merindukannya. Tak seorangpun dari mereka berdua menulis surat kepadanya musim panas ini, meskipun Ron sudah mengatakan akan meminta Harry datang menginap di rumahnya.
Sudah puluhan kali, Harry hampir membuka kandang Hedwig dengan sihir dan mengirimnya kepada Ron dan Hermione dengan membawa surat, tetapi terlalu besar resikonya. Penyihir yang masih di bawah umur tidak diperkenankan menggunakan sihir di luar sekolah. Harry tidak memberitahukan aturan ini kepada keluarga Dursley.
Mereka takut Harry akan mengubah mereka menjadi kumbang pupuk. Dan Harry tahu, rasa takut itulah yang mencegah mereka mengunci dirinya di dalam lemari di bawah tangga, bersama tongkat dan sepupunya.
Selama dua minggu pertama, Harry menikmati menggumamkan kata-kata omong kosong dan melihat
Dudley kabur dari ruangan secepat kaki gemuknya bisa membawanya. Tetapi lama tak ada kabar dari Ron dan Hermione membuat Harry merasa terkucil dari dunia sihir sehingga bahkan mempermainkan Dudley pun sudah tak menarik lagi. Sekarang Ron dan Hermione telah melupakan hari ulang tahunnya.
Sumber: Harry Potter and the Chamber of Secrets
Contoh Kutipan Novel 2
Dari Jendela SMPJoko membungkukkan badannya dalam-dalam. Melongok ke dalam laci. Dan menyumpah-nyumpah. Begitu banyak sampah di dalam sana, seakan–akan sampah seluruh Jakarta dibuang ke situ. Sialan. Ini pasti perbutan si Gino. Busuk bajingan itu. Busuk!
Dulu Gino malah pernah menaruh bangkai seekor tikus di dalam laci di bawah mejanya. Tidak sengaja benda lunak dan dingin itu terpegang oleh Joko ketika dia sedang membesihkan kelas mereka.
Terperanjat dia lekas-lekas dia menarik tangannya ke luar. Dan menghitung jarinya. Untung jumlahnya masih utuh. Binatang apa yang barusan dipegangnya? Astaga! Untung dia tidak menggigit!
Buru-buru Joko membungkuk. Melongok ke dalam laci.
Bersiap-siap untuk memukul binatang itu dengan sapunya…Dan matanya yang sudah melotot dengan gagangnya itu membentur…bangkai seekor tikus!
“Sialan geramnya sambil menendang bangku si Gino dengan gemasnya. Dia pasti sengaja menaruh bangkai tikus itu di sana.
Tidak mungkin sang tikus itu di sana. Tidak mungkin sang tikus sengaja mau mati di situ.
Teman-temanya memang senang mengolok–olokkan Joko.
Mentang-mentang dia cuma seorang anak babu. Sudah l tahun ibunya bekerja sebagai pembantu di sekolah ini. Dan untuk membantu ibunya, Joko membersihkan kelas setiap pagi. Satu jam sebelum pintu gerbang sekolah dibuka...
Waktu masih kecil dulu, Joko mau menjadi kacung. Tukang membersihkan kelas. Malu. Dia pernah menolak masuk sekolah, malu dikatai anak babu oleh teman-temannya.
Lalu Joko melihat ibunya harus bangun lebih pagi. Mengambil alih tugasnya. Memompa air. Membersihkan kelas. Membersihkan WC. Mengepel serambi sekolah. Dan Joko merasa terenyuh. Tidak sampai hati melihat ibunya bekerja seorang diri.
Ibu sudah cukup menderita. Sejak muda dia harus berjuang seorang diri menghidupi mereka berdua. Ayah Joko entah pergi kemana. Sampai sekarang Joko sendiri belum tahu di mana lakilaki itu berada. Dia belum pernah melihatnya. Dia malah tidak tahu, adakah seorang laki-laki yang pantas dipanggilnya Ayah.
Ibunya yang mencari makan untuk mereka. Dengan bekerja menjadi pembantu di sekolah ini. Begitu berat penderitaan Ibu sampai rambutnya sudah putih semua, padahal kulit mukanya masih kencang. Ibu tidak marah ketika Joko tidak mau membersihkan kelas, tetapi Ibu menangis ketika Joko menolak sekolah...
“Lihat tuh Joko” gerutu Pak Prapto kalau malam-malam kebetulan dia melihat Joko sedang belajar di bawah pelita. Joko dan ibunya tinggal di belakang sekolah. Rumah Pak Prapto dan pondok ibu Joko hanya dibatasi oleh sebidang kebun. “Anak babu” tetapi otaknya cerdas. Hampir tiap tahun jadi juara kelas. Padahal tiap hari dia bekerja keras. Makannya Cuma singkong! Tapi badannya begitu bagus. Tegap. Tidak loyo seperti anak-anakmu!
Barangkali karena setiap hari dia bekerja! Tidak cuma makan dan tidur saja!”
Meskipun di depan istrinya Pak Prapto selalu memuji Joko, di depan Joko sendiri dia tidak pernah bilang apa-apa. Tetapi meskipun demikian, Joko sangat mengaguminya. Dan diam-diam memuja Pak Prapto.
Itu sebabnya kalau tidak tepaksa, Joko tidak mau berkelahi di halaman sekolah. Ditunggunya saja sampai sekolah usai. Supaya Pak Prapto tidak marah. Dan Ibunya tidak usah dipanggil...
Ah, tidak sadar Joko jadi tersenyum sendiri. Dan senyumnya lenyap ketika ibu muncul.. “Buat apa berkelahi, Joko?”
Diangkatnya dagu Joko sampai muka anaknya menghadap ke arahnya. Dibersihkanya sisa darah di mulut dan hidung Joko dengan sehelai handuk basah. Lalu ditekanya handuk kemukanya,seolaholah dengan dinginnya handuk dia ingin mengompres muka anaknya yang babak belur. “Apa yang kau cari dengan berkelahi?
Apa yang kau dapat kalau sudah seperti ini? Tidak tahu diri! Kau anak pembantu. Anak orang tidak punya. Anak orang miskin!
Buat apa cari susah sama orang kaya?”
“Dia menghina saya” sahut Joko uring-uringan.
“Kau memang anak babu,” desis ibu menahan tangis.
“Kau harus membuktikan itu kelak, kalau kau sudah jadi orang! Punya titel, pangkat, kaya. Bukan dengan berkelahi!
Kau tidak membuktikan apa-apa dengan babak belur begini! coba
lihat, hari ini kau tidak sekolah. Pelajaranmu pasti ketinggalan!”...
Dari jauh Joko sudah melihat teman-temannya berkerumun di depan papan pengumuman. Pasti ada pengumuman hasil ujian, pikir Joko sambil mempercepat langkahnya.
“Selamat, Jab” seru Titi sebelum Joko sempat mendekati papan itu. “Kamu lulus”
“Kita lulus semua?” Tanya Joko gembira.
Titi menggeleng,” Banyak juga yang gagal.”
“Kamu bagaimana?”
“Untung lulus.”
“Wulan?” tanya Joko tak sabar.
“Oh, dia sih pasti lulus”....
Seorang diri dengan kepala tertunduk dalam, Pak Prapto menelusuri lorong rumah sakit yang telah sepi. Dia tidak dapat melupakan cara Joko menatapnya. Tidak dapat melupakan katakatanya sesaat sebelum dibawa pergi tadi.
Dan tiba-tiba saja Pak Prapto merasa nyeri menikam dadanya. Di sini, di sebelah kiri. Tepat di atas jantungnya. Dia menebah dadanya dengan kesakitan. Sementara tangan lainnya menggapai-gapai udara mencari pegangan. Ketika tidak ditemukannya pegangan itu, tubuhnya jatuh merosot ke lantai.
Sumber: Dari Jendela SMP, karya Mira W.
Contoh Kutipan Novel 3
Topi SeleksiPintu langsung membuka. Seorang penyihir wanita jangkung memakai jubah hijau zamrud berdiri di sana.
Wajahnya sangat galak dan pikiran pertama Harry adalah, jangan sampai membuat penyihir ini marah.
“Kelas satu, Profesor Mc Gonagall,” kata Hagrid.
“Terima kasih, Hagrid. Biar aku ambil alih sekarang.”
Dibukanya pintu lebar-lebar. Aula di belakang pintu luas sekali, seluruh rumah keluarga Dursley bisa dipindahkan ke situ. Dinding batunya diterangi obor-obor menyala seperti di Gringotts. Langit-langitnya tinggi sekali sehingga tak bisa dilihat, dan ada tangga pualam megah di depan mereka, menuju ke lantai atas.
Anak-anak mengikuti Profesor Mc Gonagall melintasi lantai batu kotak-kotak. Harry bisa mendengar dengung ratusan suara dari pintu di sebelah kanan, murid-murid lainnya pastilah sudah di sana, teapi profesor Mc Gonagall membawa murid-murid kelas satu ke kamar kecil kosong di luar aula. Mereka bergerombol, berdiri lebih berdekatan daripada biasanya, memandang berkeliling dengan cemas.
“Selamat datang di Hogwarts,” kata Profesor Mc Gonagall.
“Pesta awal tahun ajaran baru akan segera dimulai, tetapi sebelum kalian mengambil tempat duduk di Aula Besar, kalian akan diseleksi masuk rumah asrama mana. Seleksi ini upacara yang sangat penting karena selama kalian berada di sini, asrama kalian akan menjadi semacam keluarga bagi kalian di Hogwarts.
Kalian akan belajar dalam satu kelas dengan teman-teman se asrama kalian, tidur di asrama kalian, dan melewatkan waktu luang di raung rekreasi asrama kalian.
“Ada empat asrama di sini, Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin. Masing-masing asrama punya sejarah luhur dan masing-masing telah menghasilkan penyihir hebat.
Selama kalian di Hogwarts, prestasi dan kemenangan kalian akan menambah angka bagi asrama kalian, sementara pelanggaran peraturan akan membuat angka asrama kalian dikurangi. Pada akhir tahun, asrama yang berhasil mengumpulkan angka paling banyak akan dianugerahi Piala Asrama, suatu kehormatan besar. Kuharap kalian semua akan membawa kebanggaan bagi asrama mana pun yang akan kalian tempati.
“Upacara seleksi akan berlangsung beberapa menit lagi di hadapan seluruh penghuni sekolah. Kusarankan kalian merapikan diri sebisa mungkin selama menunggu.”
Matanya sejenak menatap jubah Neville, yang dikancingkan di bawah telinga kirinya, dan hidung Ron yang ada kotoran hitamnya. Harry dengan gelisah mencoba meratakan rambutnya.
“Aku akan kembali kalau kami sudah siap menerima kalian,” kata profesor Mc Gonagall. “Tunggu di sini dan jangan ribut.”
Dia meninggalkan ruangan. Harry menelan ludah.
“Bagaimana cara mereka meyeleksi kita masuk asrama?” tanyanya kepada Ron.
“Dengan semacam tes, kurasa. Kata Fred prosesnya menyakitkan sekali, teapi kurasa dia cuma bergurau.”
Hati Harry mencelos. Tes? Di depan seluruh sekolah? Tetapi dia sama sekali tak tahu-apa-apa tentang sihir, apa yang harus dilakukannya? Dia tidak menyangka akan ada tes begitu mereka sampai. Dia memandang berkeliling dengan cemas dan melihat bahwa anak-anak lain juga sama takutnya. Tak ada banyak bicara kecuali Hermione Granger, yang dalam bisikan mengucapkan dengan cepat semua mantra yang telah dipelajarinya dan bertanya-tanya sendiri mantra mana yang akan diperlukannya.
Harry berusaha keras untuk tidak mendengarkannya. Belum pernah dia secemas ini, belum pernah. Bahkan ketika dia harus membawa laporan dari sekolah kepada keluarga Dursley bahwa entah bagaimana dia telah mengubah wig gurunya menjadi biru, dia tidak secemas ini. Matanya diarahkannya ke pintu. Setiap saat Profesor Mc Gonagall bisa kembali dan membawanya menyongsong malapetaka.
Sumber: Harry Potter karya J.k. Rowling.
Contoh Kutipan Novel 4
Buku Harian yang Sangat RahasiaHermione tinggal di rumah sakit selama beberapa minggu.
Ketika anak-anak kembali dari liburan Natal, desas-desus tentang ketidakmunculannya seru sekali, karena tentu saja semua mengira dia telah diserang. Begitu banyak anak yang datang ke rumah sakit, berusaha mengintipnya, sehingga Madam Pomfey mengeluarkan tirainya lagi dan memasangnya di sekeliling tempat tidur Hermione, agar dia tidak malu sebab dilihat anakanak dengan wajah berbulu.
Harry dan Ron datang menengoknya setipa malam. Ketika semester baru dimulai, mereka membawakannya PR setiap hari.
“Kalau aku yang ditumbuhi kumis kucing, aku sih libur dulu belajarnya, “ kata Ron sambil meletakkan setumpuk buku di meja di sebelah tempat tidur Hermione pada suatu malam.
“Jangan bodoh, Ron, aku kan harus belajar supaya tidak ketinggalan,” kata Hermione tegas. Semangatnya sudah jauh lebih baik karena semua bulu sudah menghilang dari wajahnya, dan matanya pelan-pelan sudah mulai kembali berwarna cokelat.
“Kurasa kalian sudah mendapat petunjuk baru?” dia menambahkan dengan berbisik, supaya Madam Pomfrey tidak mendengarkannya.
“Belum,” kata Harry muram.
“Aku begitu yakin Malfoy-lah orangnya,” kata Ron, untuk kira-kira seratus kalinya.
“Apa itu?” tanya Harry, menunjuk badan keemasan yang mencuat dari bawah bantal Hermione.
“Cuma kartu ucapan semoga cepat sembuh,” kata Hermione buru-buru, berusaha menjejalkannya supaya tidak kelihatan.
Tetapi Ron lebih cepat darinya. Ron menariknya, membuka, dan membacanya keras-keras.
“Untuk Miss Granger, semoga lekas sembuh, dari gurumu yang cemas, Profesor Gilderoy Lackhart, Order of Merlin Kelas Ketiga, Anggota Kehormatan Liga Pertahanan tehadap Ilmu Hitam, dan lima kali memenangkan kontes Senyum Paling Menawan Witch Weekly.”
Ron mendongak, menatap Hermione jijik.
“Kau tidur dengan kartu ini di bawah bantalmu?”
Tetapi Hermione tak perl menjawab, diselamatkan oleh kedatanagn Madam Pomfrey yang membawakan obatnya untuk malam itu.
“Si Lackhart ini cowok penjilat yang paling memuja diri sendiri atau bagaimana sih?” kata Ron kepada Harry ketika mereka meninggalkan kamar Hermione dan menaiki tangga menuju Menara Gryffindor. Saking banyaknya PR yang diberikan oleh Snape, sampai-sampai Harry berpikir baru akan bisa menyelesaikannya kalau dia sudah kelas enam. Ron baru saja berkata dia menyesal tidak bertanya kepada Hemione berapa buntut tikus yang harus ditambahkan ke dalam ramuan Pendiri Bulu Kuduk, ketika terdengar teriakan marah dari lantai di atas mereka.
“Si Filch,” gumam Harry, ketika mereka bergegas menaiki tangga dan berhenti, menyembunyikan diri, memasang telinga tajam-tajam.
“Apakah ada anak lain yang baru diserang?” kata Ron tegang.
Mereka berdiam diri , kepala mereka condong ke arah suara Filch, yang kedengarannya histeris.
“ ... lebih banyak lagi pekerjaan untukku! Mengepel sepanjang malam, seperti aku tak punya cukup pekerjaan saja!
Tidak, ini sudah kelewatan, aku akan ke Dumbledore ...”
Langkah-langkah Filch menjauh dan mereka mendengar pintu ditutup keras-keras di kejauhan.
Mereka menjulurkan kepala. Filch jelas baru saja berpatroli di tempat ia biasa berjaga. Mereka sekali lagi berada di tempat Mrs Norris diserang. Dengan tatapan sekilas mereka sudah melihat apa yang membuat Filch berteriak-teriak. Genangan air membasahi sampai setengah koridor, dan kelihatannya air masih merembes dari bawah pintu toilet Myrtle Merana. Sekarang setelah Filch berhenti berteriak-teriak, mereka bisa mendengar tangisan Myrtle bergaung dari dinding-dinding toilet. “Kenapa lagi tuh dia?” tanya Ron.
“Ayo, kita lihat,” kata Harry, dan seraya mengangkat jubah sampai ke atas mata kaki, mereka menginjak genangan air menuju pintu yang bertulisan “rusak”, mengabaikannya seperti biasa, dan masuk.
Myrtle Merana sedang menangis kalau ia mungkin lebih keras dan lebih seru daripada biasanya. Kelihatannya dia bersembunyi di dalam klosetnya yang biasa. Toilet itu gelap karena lilin-lilinnya padam terkena siraman air yang telah membuat dinding dan lantai basah kuyup
“Ada apa, Myrtle?” tanya Harry.
“Siapa itu?” deguk Myrtle sedih. “Mau melempar benda lain lagi padaku?”
Harry berjalan melintasi air ke biliknya dan berkata, “Kenapa aku mau melempar sesuatu padamu?”
“Jangan tanya aku,” teriak Myrtle, muncul dengan luapan air yang tercurah ke lantai yang sudah kuyup. “Aku di sini terus, tak pernah mengganggu orang lain, dan ada orang yang menganggap lucu melemparku dengan buku ...”
“Tapi kau kan tidak sakit kalau ada yang melemparmu dengan sesuatu,” kata Harry tenang. “Maksudku, benda itu akan langsung menembusmu, kan?”
Dia telah mengucapkan hal yang salah. Myrtle melayang dan menjerit, “Biar saja semua melempar buku kepada Myrtle, karena dia tidak bisa merasa! Sepuluh angka kalau kau bisa melemparnya menembus perutnya! Lima puluh kalau bisa menembus kepalanya! Nah, ha ha ha! Permainan yang bagus sekali, menurutku tidak!”
“Siapa sih yang melemparnya kepadamu?” tanya Harry.
“Aku tak tahu ... aku sedang duduk-duduk di leher angsa, memikirkan kematian, dan buku itu jatuh begitu saja di atas kepalaku,” kata Myrtle, menatap mereka dengan marah. “Itu tuh bukunya, di sana, hanyut.”
Harry dan Ron mencari di bawah wastafel, ke arah yang ditunjuk Myrtle. Sebuah buku kecil dan tipis tergeletak.
Sampulnya hitam kumal dan basah kuyup sepeti halnya segala sesuatu di dalam toilet itu. Harry maju untuk memungutnya, tetapi Ron mendadak menjulurkan tangan mencegahnya.
“Apa?” kata Harry.
“Kau gila?” kata Ron. “Bisa berbahaya.”
“Berbahaya?” kata Harry, tertawa. “Mana mungkin sih?”
“Kau akan heran,” kata Ron, yang memandang buku itu dengan takut-takut. “Beberapa buku yang disita Kementerian - Dad cerita padaku - ada yang bisa membuat matamu terbakar.
Dan siapa yang membaca Soneta Penyihir, seumur hidup akan berbicara dengan gaya pantun jenaka. Dan ada penyihir tua wanita di Bath yang punya buku yang tak bisa berhenti dibaca!
Terpaksa kau akan ke mana-mana dengan buku itu di bawah hidungmu, mencoba melakukan segala hal dengan satu tangan.
Dan ...”
“Baiklah, aku paham,” kata Harry.
Buku kecl itu tergeletak di lantai, tak jelas buku apa, dan basah kuyup.
“Yah, kita tidak akan tahu kalau kita tidak memeriksanya,”
kata Harry, sambil berlari mengitari Ron dan memungut buku itu.
Harry langsung melihat bahwa itu buku harian, dan tahun yang sudah memudar di sampulnya memberitahunya bahwa usianya sudah lima puluh tahun. Harry membukanya dengan bergairah. Di halaman petama dia cuma bisa membaca nama
“T.M. Riddle” yang tintanya sudah luntur.
“Tunggu,” kata Ron, yang sudah mendekat dengan hati-hati dan melihat melewati bahu Harry.
“Aku tahu nama itu ... T. M. Riddle mendapat penghargaan untuk pengabdian istimewa kepada sekolah lima puluh tahun yang lalu.”
“Bagaimana kau bisa tahu?” tanya Harry keheranan.
“Karena Filch menyuruhku menggosok trofinya kira-kira lima puluh kali waktu detensi itu,” kata Ron sebal. “Trofi it yang kena muntahan siputku. Kalau kau menggosok lendir dari nama tertentu selama satu jam, kau akan mengingat nama itu juga.”
Harry hati-hati membuka halaman-halamannya yang basah.
Semuanya kosong. Tak ada bekas tulisan sesamar apa pun di halaman mana pun, bahkan “ulang tahun Bibi Mabel” atau “dokter gigi, setengah empat’, misalnya, juga tidak.
“Dia tidak pernah menulis di sini,” kata Harry kecewa.
“Kenapa ya ada orang yang ingin melenyapkannya dengan membuangnya ke dalam toilet?” tanya Ron ingin tahu.
Harry membalik buku itu untuk memerika sampul belakangnya dan melihat nama sebuah agen surat kabar di Vauxhall Road, London, tercetak di situ.
“Pastilah dia kelahiran-Munggle,” kata Harry, berpikir
“karena dia membeli buku harian di Vauxhall Road ...”
“Yah, tak banyak gunanya untukmu,” kata Ron. Dia merendahkan suaranya, “Lima puluh angka kalau kau bisa melemparkannya menembus hidung Myrtle.”
Tetapi Harry mengantongi buku harian itu.
Sumber: Harry Potter and The Chamber of Secrets
0 Response to "4 Contoh Kutipan Novel (Contoh-Contoh Kutipan dari Novel)"
Posting Komentar