Pengertian dan Macam-Macam Hukum Taklifi & Hukum Wad'i

Hukum Taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk mengerjakan ataupun meninggalkan suatu perbuatan. Hukum taklifi terdiri atas beberapa macam sebagai berikut.
1. Al-Ijab (Wajib)
    Al-ijab atau hukum wajib adalah tuntutan pasti atau perintah untuk dikerjakan. Pengertian wajib yang lain adalah sesuatu yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapatkan dosa. Jika seseorang meninggalkan tuntutan yang sudah pasti tersebut, dikenai sanksi atau hukuman. Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyebutkan perintah Allah di antaranya ditunjukkan dengan adanya tanda perintah atau dalam tata bahasa Arab dikenal dengan fi’il amr.
Contohnya pada ayat yang berbunyi, ” . . . . dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat . . . ” (Q.S. al-Baqarah[2]: 110). Dengan perintah itu, hukum salat dan zakat adalah wajib. Meskipun demikian, kadang bentuk perintah juga berarti sunah.
Hukum Taklifi - Al-Ijab (Wajib)
    Ciri-ciri lainnya dengan menggunakan lafal farada, kutiba, atau wajaba yang semuanya mengandung arti diwajibkan. Selain itu, ketentuan al-ijab bisa ditunjukkan dengan kalimat berita yang bermakna menyuruh. Hukum wajib ini dibagi menjadi beberapa macam. Agar lebih jelas, Anda dapat memperhatikan tabel berikut ini.
Tabel Macam-Macam Hukum Taklifi  Wajib
2. An-Nadb (Sunah)
    An-nadb atau sunah adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tidak secara pasti atau harus. Sunah yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa. Jika seseorang meninggalkan tuntunan tersebut tidak mendapat dosa. Contohnya ayat berbunyi:
”. . . Apabila kamu bermuammalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282).
Kata hendaklah atau utamanya menunjukkan tuntunan, meskipun bukan menjadi keharusan. Hukum an-nadb dapat ditunjukkan dengan penggunaan kata yang berarti sunah, seperti yusannu kaza atau yundabu kaza. Bisa juga ditunjukkan dengan menggunakan kata perintah yang bermakna sunah, seperti penjelasan dalam Surah al-Isra’ [17] ayat 79 tentang sunahnya salat tahajud.
Tabel Macam-Macam Hukum Sunah - An-Nadb
3. Al-Ibahah (Mubah)
    Al-ibahah atau mubah adalah penetapan Allah yang mengandung kebolehan memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Perbuatan yang boleh dipilih ini dikenal juga dengan mubah. Contohnya pada ayat
yang artinya, ”Apabila telah dilakukan salat, maka bertebaranlah kamu ke muka bumi dan carilah karunia (rezeki) Allah . . . .” (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 10). Dalam ayat ini penjelasan carilah karunia Allah, misalnya dengan berdagang, hukumnya dibolehkan. Ciri-ciri lain yaitu menggunakan kalimat lajunaha, laharaja, laisma, dan lainnya yang berarti tidak dilarang atau tidaklah berdosa. Dapat juga dengan tanda penggunaan kata uhilla yang artinya dihalalkan.
4. Karahah (Makruh)
    Karahah adalah tuntunan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tidak bersifat pasti atau harus sehingga jika melaksanakannya tidaklah berdosa. Perbuatan tersebut disebut dengan makruh. Contohnya sabda Rasulullah dalam riwayat Abu Daud yang menjelaskan bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak. Meskipun talak halal, tetapi dibenci oleh Allah sehingga hukumnya makruh. Tanda-tanda karahah misalnya jika terdapat lafal karaha yang berarti dimakruhkan atau adanya lafal berbentuk perintah, tetapi yang tidak menghalalkan.
5. Tahrim (Haram)
    Tuntunan atau perintah untuk tidak mengerjakan yang bersifat pasti. Tuntunan yang dilarang tersebut dikenal dengan istilah haram.
Contohnya dalam ayat yang menjelaskan, ”. . . diharamkan bagimu bangkai, . . .” (Q.S. al-Ma’idah[5] ayat 3). Contoh perbuatan haram lainnya adalah meminum minuman keras, berzina, durhaka kepada orang tua, berjudi, dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya.
    Tahrim ditunjukkan dengan tanda-tanda kalimat yang bermakna pengharaman, seperti kata harrama, hurrima, atau layahillu, yang seluruhnya mengandung makna pengharaman atau tidak dihalalkan. Tanda lainnya, yaitu adanya kalimat yang berbentuk fi’il nahi atau kata kerja yang berarti larangan atau kata perintah untuk menjauhi.
Penerapan Hukum Taklifi
    Memahami ketentuan hukum taklifi sangat penting sehingga kita mengetahui ketentuan hukum mengerjakan sesuatu. Adakalanya suatu perbuatan harus dikerjakan, wajib ditinggalkan, dan boleh memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya. Sebagai contoh, pada saat kita membaca Surah al-Baqarah[2] ayat 110, kita menjadi tahu bahwa mengerjakan ibadah salat hukumnya wajib. Ketentuan wajib di sini berarti bahwa perbuatan tersebut harus dikerjakan jika ditinggalkan akan mendapat dosa. Oleh karena mengetahui salat hukumnya wajib, kita perlu menerapkannya dengan selalu mengerjakan ibadah salat dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita meninggalkan kewajiban salat tersebut, kita akan menanggung dosa.

Hukum Wad'i
    Penerapan hukum taklifi sebagaimana dijelaskan di atas juga sangat terkait dengan ketentuan hukum wad‘i. Hukum wad‘i adalah ketetapan Allah yang mengandung pengertian bahwa terjadinya suatu hukum adalah karena adanya sebab, syarat, ataupun penghalang. Sebagai contoh, ibadah salat yang hukumnya wajib dikerjakan, dalam kondisi-kondisi tertentu justru harus ditinggalkan. Misalnya ketika terjadi haid. Haid menjadi penghalang diwajibkannya salat bagi perempuan. 
Pengertian dan Ketentuan Hukum Wadi
Ketentuan hukum wad‘i secara lengkap adalah sebagai berikut:
1. Sebab
    Sesuatu yang mendasari adanya hukum. Dengan adanya sebab maka ada hukum. Contohnya terbitnya fajar menyebabkan wajibnya mengerjakan salat Subuh.
2. Syarat
    Sesuatu yang berada di luar hukum, tetapi keberadaan hukum tergantung kepadanya. Akan tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum perbuatan. Contohnya sebelum salat disyaratkan berwudu terlebih dahulu. Akan tetapi, orang yang berwudu tidak selalu harus mengerjakan salat.
3. Penghalang (mani’)
    Keadaan yang dengan adanya penghalang ini, tidak menyebabkan adanya hukum. Contohnya perempuan yang sedang haid menyebabkan tidak diwajibkannya mengerjakan salat.
4. Sah
    Perbuatan hukum yang telah terpenuhi aturannya, seperti syarat, sebab, dan tidak adanya penghalang. Contohnya salat Subuh sah jika telah terbit fajar, dikerjakan setelah berwudu, dan tidak ada penghalang bagi yang mengerjakan.
5. Batal
    Terlepasnya hukum dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Contohnya bertransaksi jual beli secara riba. Jual beli tersebut dianggap batal karena mengandung fasad sehingga transaksinya pun dianggap tidak sah. (Satria Effendi dan M.Zein.2005.Halaman 62–67)
    Itulah tadi bahasan mengenai hukum taklifi dan wad'i, baca juga sumber-sumber hukum islam, semoga bermanfaat :)

Subscribe to receive free email updates:

4 Responses to "Pengertian dan Macam-Macam Hukum Taklifi & Hukum Wad'i"

  1. Good jobπŸ‘πŸ‘πŸ‘

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga tajwid hukum taklifi dan wad i nya bermanfaat 😊

      Hapus
  2. Goodd freand you are the besttt todddπŸ˜ƒ

    BalasHapus